Page 192 - PEMIKIRAN INDONESIA MODERN 2015
P. 192

Sejarah Pemikiran Indonesia Modern



                dipublikasikan. Dengan memanfaatkan surat kabar atau majalah sebagai
                media  yang  terbit  pada  pertengahan  tahun  1930-an,  pikiran-pikiran  itu
                secara  nyata  telah  mampu  mengajak  siapa  saja—khususnya  para
                pembaca—untuk sama-sama memasuki wilayah dialektika yang bersifat
                intelektualistis.  Lontaran-lontaran  pikiran  Sutan  Takdir  Alisjahbana
                yang  kemudian  ditanggapi  oleh  sejumlah  seniman  dan  pemikir
                terkemuka  di  masa  itu  seperti  Sanoesi  Pane,  Poerbatjaraka,  Sutomo,
                Tjindarbumi,  Adinegoro,  M.  Amir,  dan  Ki  Hadjar  Dewantoro,  telah
                menunjukkan  kepada  kita  akan  kualitas  perdebatan  mereka  yang
                sepertinya tidak lekang oleh waktu. Sampai kini pun, setelah lebih dari
                tiga perempat abad berlalu, perdebatan mereka masih terasa gaung dan
                maknanya,  dan  senantiasa  tetap  memberi  inspirasi  serta  menyediakan
                ruang  untuk  berkaca  dan  mengintrospeksi  diri,  istimewanya  dalam
                permasalahan identitas dan rasa berbangsa.
                        Perdebatan atau polemik di antara mereka, yang sesungguhnya
                berupa  polemik  antara  Sutan  Takdir  Alisjahbana  dengan  para  tokoh
                yang lain itu, dapat dikatakan sebagai fenomenal karena dimensi lintas-
                zamannya. Beruntunglah generasi sekarang karena masih dapat menyimak
                perdebatan itu dan rasa terima kasih pantas diberikan kepada Achdiat K.
                Mihardja yang telah menghimpun perdebatan itu ke dalam buku “Polemik
                Kebudayaan”.  Namun  dalam  perjalanan  sejarah  kebudayaan  bangsa  ini,
                sesungguhnya bukan hanya perdebatan ini saja yang pernah terjadi, sebab
                memang  ada  beberapa  peristiwa  serupa,  hanya  secara  cakupan
                permasalahan dan publikasinya tidak seintensif polemik di tahun 1930-an
                tersebut.  Sebagai  contoh,  pada  akhir  tahun  1960-an,  sempat  terjadi
                perdebatan  atas  metode  analisis  sastra  yang  dikenal  dengan  “Aliran
                Rawamangun”  yang  kemudian  melahirkan  buku  Kritik  Atas  Kritik  Atas
                Kritik (1975) atau Pengadilan Puisi yang diselenggarakan di Bandung pada
                tahun 1974.

                        Perdebatan  yang  kemudian  sangat  dikenal  dengan  “Polemik
                Kebudayaan”  inilah  yang  hingga  kini  masih  tetap  relevan  sebab  inti
                perdebatannya adalah permasalahan yang penting dan mendasar, yaitu
                mengenai  identitas  sebagai  bangsa  atau  dalam  hal  ini  adalah
                “keindonesiaan”.      Dari  perdebatan  yang  terjadi,  yang  sangat
                menarik, adalah pada wujud perdebatan tersebut ketika Indonesia masih
                di bawah Pemerintah Hindia Belanda, yang bahkan dari sudut pandang
                sekarang pun, jalannya perdebatan  itu dapat dinyatakan sebagai sudah
                sangat  bertanggung  jawab.  Dapat  dikatakan  sebagai  “bertanggung
                jawab”  mengingat  bahwa  perdebatan  yang  terjadi  bukan  sekadar




                184    Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya
   187   188   189   190   191   192   193   194   195   196   197