Page 264 - PEMIKIRAN INDONESIA MODERN 2015
P. 264
Sejarah Pemikiran Indonesia Modern
dimaknai sebagai refleksi atau pantulan aktor sejarah dalam hal ini
pemimpin atau elite bangsa dalam memikirkan kebaikan dan
kemaslahatan bangsa yang mereka pimpin. Dalam hal ini pemikiran
yang dilontarkan para tokoh bangsa merupakan fakta sebagai hasil dari
refleksi atas kenyataan, yang merupakan tema penulisan sejarah.
Berbicara mengenai sejarah suatu prinsip atau konsep yang
melekat pada dirinya adalah mengenai interpretasi. Taufik Abdullah
dalam tulisannya mengenai hubungan sastera (literature) dan sejarah
(history), mempertautkan antara karya novel dengan pemahaman
sejarah. Jika perilaku dapat dianggap sebagai hasil dari suatu interpretasi
dari aktor dalam menanggapi situasi di sekitarnya, maka dengan
menggunakan novel dapat diperluas untuk mendapatkan landasan
interpretasi itu. Opini, suasana hati (mood), perasaan, sentiment dan
sejenisnya pada dasarnya tidak dapat direkonstruksi oleh sejarah, akan
tetapi dapat dilakukan di dalam novel sebagai karya sastera. Lalu
melalui novel ini pula sejarah intelektual atau sejarah pemikiran dapat
ditulis. Lebih jauh Abdullah mengemukakan selain novel dapat menjadi
sumber sejarah pemikiran ia juga sebagai indeks kesinambungan dan
perubahan kultural (Abdullah 1986:233),
Meskipun yang akan tampak mendominasi sosok kepemimpinan
yang dimunculkan pada diri Sukarno dan Soeharto, tetapi itu bukan
berarti mengabaikan tokoh-tokoh di sekitarnya. Sebab sudah tentu
pemikiran kedua tokoh bangsa dan negara itu tidak dapat dipisahkan
dari pengaruh dan interaksi dengan lingkungannya.
Sejarah bangsa telah menorehkan dua model kepemimpinan
yakni Sukarno dan Soeharto yang begitu mendalam memberikan
dampak kuat dalam perkembangan masyarakat bangsa. Mereka
merefleksikan pemikiran politik kebangsaan dan kenegaraannya yang
pada dasarnya memiliki komitmen yang sama. Juwono Sudarsono
adalah satu di antara yang dengan tegas memberi predikat pada Presiden
Sukarno sebagai bapak bangsa (nation builder) sedangkan Presiden
Soeharto sebagai “bapak negara” (state builder). Dalam talian itu maka
kedua tokoh tersebut diletakkan sama yang memiliki kedudukan setara
dalam hal pemikirannya tentang bangsa dan negara.
Bagian akhir dari buku ini diberi judul “Pemikiran kebangsaan dan
kenegaraan dalam masa Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru”
dengan sub-sub sebagai berikut:
256 Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya