Page 267 - PEMIKIRAN INDONESIA MODERN 2015
P. 267

Sejarah Pemikiran Indonesia Modern




                bangsa.  Faktor  pemersatu  pada  diri  Soekarno  tampaknya  menjadi
                alternatif  yang  ditunggu-tunggu,  setidaknya  demikian  Soekarno
                mempersepsikan dirinya. Ia melihat bahwa sistem politik masa lalu itu
                tidak sesuai dengan “kepribadian bangsa”. Dengan tegas ia mengatakan
                bahwa  demokrasi  seperti  itu  (maksudnya  “demokrasi  parlementer”)
                adalah demokrasi liberal.

                        Ketidaksabaran  Presiden  Soekarno  dalam  untuk  mengakhiri
                demokrasi  parlementer  sudah  terlihat  ketika  ia  sebagai  Presiden
                menunjuk  Soekarno  sebagai  seorang  warga  negara  untuk  menjadi
                formatur  pembentuk  kabinet  sesudah  kabinet  Ali  Sastroamidjojo  II
                (1957).  Maka  terbentuklah  kabinet  karya  yang  dipimpin  oleh  Ir.
                Djuanda.  Apa  yang  dimaksud  “kepribadian  bangsa”  oleh  Presiden
                Soekarno  adalah  jiwa  gotong-royong  yakni  sebagai  ciri  sekaligus
                kekuatan  bangsa  Indonesia  untuk  menjawab  tantangan  yang
                dihadapinya.  Jelaslah  dengan  cara  pandang  demikian,  maka  periode
                yang baru saja dilalui (1950-1957) dianggap sebagai “penyimpangan dari
                pola  dasar  kepribadian  nasional”.  Tidak  hanya  itu,  Presiden  Soekarno
                kini juga memberi penilaian tertentu terhadap revolusi fisik, nama yang
                ia berikan pada periode tahun 1945-1949.
                        Dengan  konsepnya  mengenai  “revolusi  yang  belum”  selesai,
                Presiden Soekarno menganggap bahwa maklumat politik (Bung Hatta)
                tanggal  1  November  1945  sebagai  penyebab  arah  “revolusi  kita”  telah
                berubah kiblatnya dari arah dan  nada yang revolusioner menjadi nada
                yang  kompromistis,  dan  akhirnya  di  antara  sekian  jalan  kompromi  (
                Linggarjati  dan  Renville),  “revolusi  kita  “  harus  tunduk  pada  hasil
                Konferensi  Meja  Bundar  (KMB)  yang  telah  menelurkan  UUDS-
                Republik  Indonesia  Serikat  (RIS).  Bagi  Soekarno  UUD  itu  bukan  saja
                jauh  bertentangan  dengan  UUD  1945,  melainkan  juga  sama  sekali
                mengubah bentuk negara kesatuan RI menjadi negara RI. Sekalipun RI
                masih ada tetapi berubah statusnya hanya sebagai sebuah negara bagian.
                        Dilihat  dari  perspektif  Soekarno,  yakni  menjadikan  revolusi
                sebagai  konsep  yang  terus  bergejolak,  pandangan  ini  terlihat  dalam
                periode 1955-1959 sebagai “kelip api dalam kegelapan”. Dalam periode
                ini  tampak  ketidaksabaran  Presiden  Sukarno  dalam  “mencampuri”
                pemerintahan  yang  sesungguhnya  bukan  merupakan  kewenangannya.
                Itu karena sebagai ‘hanya’ kepala negara ia tidak boleh secara langsung
                turut  campur  urusan  eksekutif  yang  dijalankan  oleh  seorang  perdana
                menteri.  Tampaknya  kemudian  bahwa  Presiden  Sukarno  sudah  tidak
                lagi  menyukasi  banyaknya  partai  politik  yang  dianggapnya  telah



                                              Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya   259
   262   263   264   265   266   267   268   269   270   271   272