Page 272 - PEMIKIRAN INDONESIA MODERN 2015
P. 272
Sejarah Pemikiran Indonesia Modern
Presiden mengatakan “ … tetapi kita harus merombak gedung ini
sama sekali; bukan saja merombak tiang-tiangnya, peratapannya,
dinding-dindingnya, tetapi kita rombak sama sekali sampai ke
fondamen-fondamennya. Dan kita mengadakan fondamen baru,
mendirikan gedung baru sama sekali, yaitu gedung
ketatanegaraan Republik Indonesia style baru ..[…] telah lebih
daripada 11 tahun ini, kita tidak pernah mencapai kestabilan
pemerintahan. […] memang kita selalu gandrung kepada
demokrasi dan ingin menyelenggarakan demokrasi itu, oleh
karena memang demokrasilah yang menjadi api pembakar hati
kita, api pewahyu daripada segenap tindakan kita. Tetapi
menurut keyakinan kita sebagai hasil pengalaman yang 11 tahun
ini, demokrasi yang kita ambil, demokrasi yang kita pakai adalah
demokrasi yang tidak cocok dengan jiwa bangsa Indonesia. yaitu
apa yang kita namakan demokrasi Barat, namakanlah ini
demokrasi parlementer. Tetapi tegas bagi saya demokrasi yang
kita pakai 11 tahun ini adalah satu demokrasi impor, demokrasi
yang bukan demokrasi Indonesia. […] bukan demokrasi yang
cocok dengan jiwa kita sendiri, maka kita mengalami segenap
ekses-ekses daripada sekadar memakai barang impor. Segenap
ekses-ekses daripada penyelenggaraan demokrasi yang bukan
demokrasi yang sesuai dengan kepribadian kita sendiri”
(Kumpulan Pidato Bung Karno, 2001, 33-37).
Ada dua gagasan yang harus diwujudkan pertama dibentuknya
Kabinet Gotong Royong yang terdiri atas orang-orang yang mewakili
semua partai atau semua fraksi-fraksi yang mencerminkan seluruh
perimbangan kekuatan yang di dalam DPR. Gambarannya seperti yang
dikemukakan Presiden dengan istilah “alle leden aan de werk en eet tafel”,
bahwa “semua anggota dalam kerja dan meja makan bersama”. Kedua,
dengan membentuk Dewan Nasional. Gagasan itu didasarkan pada
kenyataan bahwa terdapat berbagai golongan di dalam masyarakat yang
berdasarkan fungsi dan pekerjaannya ikut dalam menentukan kehidupan
negara, yang terwakili di dalam DPR.
Pada awal tahun 1959 tampak gejala makin berkurangnya
ancaman terhadap disintegrasi bangsa dilihat dari gejolak dan
pemberontakan daerah. Dalam pidato peringatan HUT 17 Agustus 1959,
Presiden Sukarno telah menemukan jawab atas permasalahan yang
bersifat dualistik: “dualisme antara pemerintah dan kepemimpinan
revolusi” antara “masyarakat adil makmur dan masyarakat kapitalis”
antara “gagasan revolusi belum selesai dan kebutuhan akan
konsolidasi”.
264 Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya