Page 66 - PEMIKIRAN INDONESIA MODERN 2015
P. 66
Sejarah Pemikiran Indonesia Modern
perbedaannya dengan sekolah-sekolah lain yang setingkat. Oleh sebab
itu, mereka memilih kata “eleve” dari bahasa Perancis, yang berarti
‘murid”. Penamaan ini dianggap lebih diterima di kalangan mereka,
selain belum ada yang menggunakannya, sebutan itu terasa khusus bagi
pelajar STOVIA. Namun, istilah ”eleve” kemudian mengalami
perubahan pengucapan menjadi ‘klepek” untuk menyebut pelajar
STOVIA, hal ini disebabkan adanya pengaruh logat Betawi. Pada
perkembangannya, penyebutan “klepek’ justru diterima sebagai suatu
kehormatan, di samping sebutan itu dapat menciptakan keakraban
2
tersendiri di kalangan para pelajar STOVIA .
Gedung STOVIA yang merupakan sebuah kompleks itu terdiri
dari beberapa bangunan yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas dan
dikelilingi dengan pagar rapih dan kokoh yang menyebabkan orang luar
tidak mudah untuk memasuki area sekolah tersebut. Untuk menjaga
disiplin para “klepek” dan mencegah keleluasaan orang dari luar masuk
ke wilayah itu, di bagian depan kompleks terdapat pintu gerbang besar
yang terbuat dari besi berjeruji. Pada malam hari terdapat peraturan,
bahwa bagi para pelajar Tingkat Persiapan hanya diperbolehkan ke luar
asrama hingga pukul 20. 00 (malam) dan bagi para pelajar Tingkat
Geneeskundig hingga pukul 22.00 (malam).
Gedung STOVIA yang terletak di Hospitaalweg memiliki dua
tempat sebagai satelit terbesar, yakni gedung “Langen Sawo” dan
Sumatraans Commensalenhuis (SCS). Keduanya terletak di Kwitang dan
tidak jauh dari gedung STOVIA. Di kedua tempat tersebut merupakan
titik temu para “klepek” untuk membicarakan berbagai masalah tanpa
agenda mulai dari yang paling ringan hingga topik-topik politik saat itu.
Sekolah dokter ini memiliki tempat unik dalam sejarah
kebangsaan sebagai tempat berseminya semangat nasionalisme yang
semula bersifat ke-Jawa-an, kemudian berkembang menjadi ke-Hindia-
an. Dalam hal ini, STOVIA adalah sekolah pertama yang
mengumpulkan murid-murid dari berbagai daerah dan tinggal dalam
sebuah asrama. Selain itu, di lembaga pendidikan ini, para pelajar
menerima ilmu pengetahuan dan pendidikan secara Barat yang
membawa pengaruh terhadap terbukanya wawasan para pelajar menjadi
semakin luas, terutama terkait kondisi masyarakat jajahan, baik yang
dijajah maupun penjajahnya. Kaum pelajar ini menjadi semakin
memahami tentang anggapan-anggapan lama mengenai kesukuan,
perbedaan-perbedaan yang diperbesar oleh penjajah dalam rangka politik
“memecah belah”.
58 Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya