Page 69 - PEMIKIRAN INDONESIA MODERN 2015
P. 69
Sejarah Pemikiran Indonesia Modern
Bataviaasch Nieuwsblad. Dalam hal ini, Douwes Dekker secara intensif
mengadakan hubungan yang erat dengan para pelajar STOVIA. Oleh
karena keakraban dan kekayaan literatur yang dimilikinya, rumah
Douwes Dekker di Kramat, Jakarta yang lokasinya tidak jauh dengan
gedung STOVIA, seolah-olah dijadikan “ruang bacaan” bagi para pelajar
STOVIA. Di tempat ini, Douwes Dekker secara terus menerus mengisi
jiwa para pelajar dengan semangat juang dan patriotisme. Oleh karena
itu, tidak mengherankan pula apabila rumah Douwes Dekker disebut
sebagai tempat kelahiran “jiwa Boedi Oetomo” yang memancar dari
pikiran dan tindakan Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, dan
kawan-kawan. Kemudian, Douwes Dekker mendapat julukan
“temannya orang Jawa di kalangan pelajar itu”. Bahkan, oleh Soetomo
dan kawan-kawannya di STOVIA, Douwes Dekker disebut sebagai
6
“calon” yang mestinya ikut duduk dalam pengurus Boedi Oetomo .
Pergerakan Boedi Oetomo pada taraf pertama memang bukan
pergerakan politik, dan keanggotaannya juga masih terbatas pada suku
Jawa dan Madura. Dalam 5 (lima) tahun pertama Boedi Oetomo benar-
benar merupakan kancah atau muara keinginan-keinginan bergerak maju
dengan medan tanpa ada yang membatasi. Adapun, hal yang hendak
dicapai adalah kehidupan terhormat bagi bangsa yang dapat ditafsirkan
menjadi watak khas perjuangan guna mencapai kemerdekaan dari semua
pergerakan kebangsaan di Indonesia. Di sinilah letak martabat
pergerakan Boedi Oetomo sebagai perintis kebangkitan nasional dalam
membangun solidaritas modern dan pada akhirnya pergerakan itu
mengalami kemunduran pada 1913 akibat munculnya aliran-aliran baru
yang lebih radikal.
Berdirinya Boedi Oetomo, seolah menjadi pelita bagi munculnya
organisasi pemuda-pemuda yang lainnya. Satiman Wirjosandjojo
seorang pelajar STOVIA pada tahun 1915, mengambil inisiatif
mendirikan perhimpunan untuk para pelajar pendidikan menengah dan
lanjut. Satiman pada tahun 1912, telah menjadi berita besar ketika
memprotes keras peraturan tentang pakaian di sekolah kedokteran di
Batavia. Pada waktu itu pelajar Jawa diwajibkan mengenakan jarik
(kain) dan udheng (ikat kepala). Di atas udheng itu dikenakan topi
berlambang kedokteran. Suatu pemandangan yang menggelikan, karena
calon-calon dokter yang biasanya berasal dari kalangan priyayi itu
dicemoohkan sebagai ‘kondektur trem’. Satiman berjuang agar para
pelajar dapat mengenakan pakaian bebas. Setelah dipertimbangkan,
akhirnya direktur STOVIA memutuskan untuk meluluskan permohonan
Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya 61