Page 65 - PEMIKIRAN INDONESIA MODERN 2015
P. 65
Sejarah Pemikiran Indonesia Modern
Dalam perkembangannya, Direktur Sekolah Dokter Jawa, yaitu
Dr. C. Eijkman pada 1889 mengajukan usul, agar pendidikan
diselenggarakan selama 5 (lima) tahun. Usul ini disambut dengan saran
lain, yaitu pelajar Sekolah Dokter Jawa hendaknya berasal dari lulusan
Europeesche Lager School (ELS) dan pendidikan dilaksanakan selama 6
(enam) hingga 8 (delapan) tahun. Sejak 1901, upaya pengembangan mutu
Sekolah Dokter Jawa ditingkatkan menjadi School tot Opleiding van Indische
Artsen (STOVIA). Dr. H.F. Roll yang disebut sebagai “Bapak STOVIA”
memimpin sekolah itu sejak berdiri, yakni pada 1901 hingga 1908.
Usaha Dr. H.F. Roll tidak hanya berhenti pada perubahan
Sekolah Jawa menjadi STOVIA, tetapi ia meneruskan dengan
mendirikan gedung sekolah sesuai dengan gagasannya. Meskipun dana
menjadi halangan utama dalam pembangunan gedung ini, berkat
keuletannya ia dapat mengumpulkan sumbangan sebesar 178.000 gulden
untuk membangun gedung STOVIA yang diresmikan pada 1902.
Dengan dibukanya gedung baru STOVIA, bentuk pendidikannya pun
menyesuaikan keadaan, seperti Tingkat Persiapan (Voorbreiding)
dilaksanakan selama 3 (tiga) tahun. Sementara itu, Tingkat Kedokteran
(Geneeskundige) ditambah waktu belajarnya menjadi 6 (enam) tahun.
Lulusan STOVIA tidak lagi memperoleh gelar Dokter Jawa, tetapi
bergelar Inlandsch Arts. Sejak 1903, penerimaan STOVIA diperketat
dengan mengadakan ujian saringan.
Setelah berjalan selama 11 (sebelas) tahun dengan beberapa
perubahan. Pada 1913 STOVIA mengalami reorganisasi yang meliputi
perbaikan kurikulum; penyelenggaraan praktikum yang dilakukan secara
terpisah sesuai tingkat dan jurusan; lama pendidikan untuk Tingkat
Persiapan berlangsung selama 3 tahun dan untuk Tingkat Kedokteran
menjadi 7 tahun; penambahan tenaga pengajar dan para asisten; serta
perubahan gelar bagi para lulusan yang semula Inlandsch Arts (1902)
menjadi Indisch Arts. Selain itu, STOVIA mulai menerima calon pelajar
dari segala bangsa dengan biaya sendiri. Sejak 1919, pembaharuan
gedung STOVIA terus dilakukan, diantaranya pemindahan klinik beserta
pendidikan klinis ke Centrale Burgelijke Ziekeninrichting (CBS) di Salemba
(sekarang: Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo /RSCM).
Sekolah yang mendidik para calon dokter tersebut memiliki
kedudukan “canggung”, begitu pula dalam menyebut para pelajarnya.
Mereka tidak menamakan diri “siswa” atau “murid” yang mereka
anggap agak ‘rendah’ dari sisi tingkat. Selain itu, mereka juga tidak
menyebut “leerling”, karena sebutan itu tidak memperlihatkan
Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya 57