Page 88 - Tata Kelola Pemilu di Indonesia
P. 88
menjadi kursi, yakni sistem bilangan pembagi (divisor) atau yang biasa
disebut dengan highest average (rata-rata tertinggi) dan sistem quota atau
yang biasa disebut dengan largest remainders (sisa terbesar) (Lijphart, 1995).
Penghitungan suara dengan menggunakan sistem divisor secara umum
dicirikan dengan bilangan pembagi tetap yang tidak tergantung pada jumlah
penduduk atau perolehan suara. Sistem ini setidaknya memiliki dua varian.
Yang pertama adalah D’Hondt Formula yang menggunakan bilangan pembagi
yang berangka utuh, yaitu 1, 2, 3, 4, dan seterusnya. Hasil pembagian
selanjutnya menghasilkan angka tertinggi. Kursi akan dialokasikan ke Parpol
yang mendapatkan angka tertinggi secara berurutan.
Tabel 3.2. Alokasi Kursi Versi D’Hondt
Alokasi Kursi dengan D’Hondt Divisor
Partai Suara Total Kursi
S/1 S/2 S/3
A 42.000 42.000(1) 21.000(3) 14.000(6) 3
B 31.000 31.000(2) 15.500(5) 10.333 2
C 15.000 15.000(4) 7.500 5.000 1
D 12.000 12.000 6.000 4.000 0
Total 100.000 6
Keterangan: Simulasi untuk sebuah dapil dengan 4 parpol yang memiliki total 100 ribu
suara dan yang menyediakan 6 kursi.
Sumber: Lijphart, 1995
Varian yang kedua adalah the Sainte-Laguë. Metode ini hampir sama
dengan metode yang pertama, dengan perbedaan utama pada bilangan
pembaginya yang menggunakan angka ganjil, yaitu 1, 3, 5, 7 dan seterusnya.
Sejak tahun 2019, Pemilu DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota di
Indonesia menggunakan metode ini.
Sedangkan penghitungan suara dengan menggunakan sistem kuota secara
umum dicirikan dengan adanya bilangan pembagi pemilih yang tidak tetap
karena bergantung pada jumlah pemilih yang ada. Walau sistem ini memiliki
setidaknya tiga varian, yakni Hare Quota, Droop Quota, dan Imperiali Quota
(Lijphart 1995), tetapi yang sangat terkenal dan sering digunakan hanyalah
varian pertama dan kedua.
72 BAB 3 – SISTEM PEMILU

