Page 103 - Majalah Peradilan Agama Edisi XI
P. 103
EKONOMI SYARIAH
M.C.L., merasa perlu mengakhiri polemik yang terjadi di tingkat putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu
bawah. Akhirnya pada tanggal 10 Oktober 2008, Bagir Manan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang
mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 8 Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.”
Tahun 2008 Tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syari’ah. Setelah melalui jalan berliku selama kurang lebih
Point (4) SEMA No. 8/2008 menyebutkan bahwa “Dalam hal 17 tahun, perkara pembatalan dan eksekusi putusan
putusan Badan Arbitrase Syari’ah tidak dilaksanakan secara arbitrase syariah kembali menjadi kewenangan absolut
sukarela, maka putusan tersebut dilaksanakan berdasarkan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
perintah Ketua Pengadilan yang berwenang atas permohonan Tugas ke depan bagi hakim Peradilan Agama adalah
salah satu pihak yang bersengketa, dan oleh karena sesuai dengan memperkuat kapasitas SDM yang mumpuni dalam
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana menyelesaikan sengketa pembatalan dan pelaksanaan
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, putusan arbitrase syariah agar para pihak bersengketa
Pengadilan Agama juga bertugas dan berwenang memeriksa, merasa puas dengan putusan yang diberikan.
memutus dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi [Achmad Cholil]
syari’ah, maka Ketua Pengadilan Agama lah yang berwenang
memerintahkan pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Syari’ah.”
SEMA No. 8/2008 tersebut mengakhiri polemik pengadilan
mana yang berwenang membatalkan dan mengeksekusi
putusan arbitrase syariah. Dengan berlakunya SEMA tersebut,
pembatalan dan eksekusi putusan arbitrase syariah menjadi
kompetensi absolut pengadilan agama/mahkamah syar’iyah.
SEMA tersebut juga secara nyata ‘menganulir’ ketentuan Pasal
61, 71 dan 72 UU No. 30/1999.
Akan tetapi SEMA No. 8/2008 hanya berusia seumur jagung.
Pada tanggal 29 Oktober 2009, diundangkan Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 59
ayat (3) UU No. 48/2009 menyatakan bahwa “Dalam hal para
pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela,
putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan
Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.”
Penjelasan Pasal 59 UU No. 48/2009 menegaskan bahwa yang
dimaksud dengan arbitrase dalam ketentuan ini termasuk juga
arbitrase syariah.
Kembali polemik mengemuka. Ada dua aturan yang
bertentangan dalam hal pembatalan dan eksekusi putusan
arbitrase syariah. SEMA No. 8/2008 versus UU No. 48/2009.
Untuk meredam polemik tersebut, Mahkamah Agung pada
tanggal 20 Mei 2010 mengeluarkan SEMA Nomor 08 Tahun 2010
Tentang Penegasan Tidak Berlakunya Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor : 08 Tahun 2008 Tentang Eksekusi Putusan Badan
Arbitrase Syari’ah. Berdasarkan SEMA No. 08/2010 tersebut
maka SEMA No. 08/2008 yang memberikan kewenangan kepada
pengadilan agama dalam membatalkan dan mengeksekusi
putusan arbitrase syariah dinyatakan tidak berlaku.
Enam tahun kemudian, tepatnya tanggal 22 Desember 2016,
Ketua Mahkamah Agung, Prof. Dr. H. M. Hatta Ali, S.H., M.H.,
mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 14
Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi
Syariah. Pasal 13 ayat (2) menyatakan bahwa “Pelaksanaan
putusan arbitrase syariah dan pembatalannya dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Selanjutnya
Pasal 13 ayat (3) menegaskan bahwa “Tata cara pelaksanaan
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 11 | April 2017 101