Page 517 - Bu Kek Siansu 01_Neat
P. 517

"Suheng, tunggu apa lagi? Mari kita cepat pergi ke Lu-liangsan!" Swat Hong

               dengan penuh semangat sudah bangkit berdiri. Sin Liong terpaksa juga bangkit

               berdiri, akan tetapi


               Ketua  Bu-tong-pai  itu  berkata,  "Harap  Ji-wi  berhati-hati.  Rawa  Bangkai

               merupakan daerah yang sangat berbahaya dan selain dua wanita itu amat sakti,

               juga Kiam-mo Cai-li mempunyai banyak anak buah. Bahkan kaki tangan The

               Kwat Lin yang tadinya berada di sini sekarang pun ikut pergi bersamanya."

               "Terima  kasih  atas  peringatan  Locian-pwe,"  kata  Sin  Liong  sambil  memberi

               hormat dan karena dia pun merasa amat tidak enak telah menggangu orang-orang

               tua di Bu-tong-pai ini, dia cepat mengajak sumoinya pergi dari situ.


               Setelah berpamit, sekali berkelebat saja dua orang muda itu lenyap. Kui Tek Tojin

               menghela napas dan mengelus  jenggotnya, "Siancai..... dua orang muda yang

               amat luar biasa. Pinto yakin bahwa mereka tentulah orang-orang dari Pulau Es

               juga. Gerakan mereka aneh seperti gerakan Kwat Lin, akan tetapi kalau Pulau Es

               telah membuat Kwat Lin menjadi seperti iblis, dua orang muda itu seperti dewa!"


               "Suheng,       bukankah      di     lereng puncak         yang  sana  itu tempatnya?"

               "Kalau tidak salah memang di sana, Sumoi. Akan tetapi sekali ini kita melakukan

               pekerjaan yang amat berbahaya, maka kuharap Sumoi suka bersikap tenang dan

               sabar, tidak tergesa-gesa." Swat Hong mengangguk, mengeluarkan saputangan

               sutera  dan  menghapus  keringat  dari  leher  dan  dahinya.  Mukanya  kemerahan,

               pipinya  seperti  buah  tomat  masak,  matanya  bersinar-sinar  penuh  semangat,

               rambutnya agak kusut dan anak rambut di dahinya basah oleh keringat. Sin Liong

               memandang sumoinya dan diam-diam dia menaruh hati iba kepada sumoinya.

               Seorang dara muda seperti sumoinya sudah harus mengalami hidup merantau dan

               sengsara seperti ini! Padahal, seorang dara muda seperti sumoinya itu sepatutnya

               berada  di  dalam  rumah  bersama  keluarga,  hidup  aman  teteram  dan  penuh

               kegembiraan, bermain-main di dalam taman bunga yang indah, bersedaugurau,

               tertawa, bernyanyi, membaca sajak, atau jari-jari tangan yang kecil meruncing itu



                                                           516
   512   513   514   515   516   517   518   519   520   521   522