Page 18 - episode-1
P. 18

Namamu Sulastri                                                        Episode I


                        Kang Somad! Dia memang beda dari masinis yang biasa dilihat oleh orang-orang
                     di sekitar jembatan rel kereta itu. Secara sepintas, atau dipelototi sekalipun, masinis
                     muda itu punya kharisma, wibawa, bukan orang biasa. Itu yang membedakan dia dari

                     masinis-masinis lainnya.
                         Dilihat dari lengannya yang kekar, orang-orang yang pernah melihatnya menduga
                     tubuhnya pasti tegap—belum pernah berhadap-hadapan memang.  Wajah masinis
                     lainnya umumnya tampak lelah. Kang Somad tampak segar, hidungnya mancung,

                     matanya bulat hitam, cekung, kulit mukanya bersih dihiasi kumis tipis, tapi tidak
                     bercambang, apalagi berjenggot. Rambutnya cepak agak ikal.
                        Dia masinis baru; baru empat atau lima kali melintas di jembatan dalam satu bulan

                     terakhir dengan kebiasaan-kebiasaan membunyikan klakson yang sama dan menyapa
                     orang sekitarnya ketika melintas. Masinis lain……, lewat begitu saja; tidak menegur,
                     apalagi salam, meski mereka melintas di kerumunan banyak orang. Tentu tidak ada
                     aksi balik sapa dari orang-orang di sepanjang jembatan rel kereta.

                        Karena keramahannya itu membuat Kang Somad jadi bintang jembatan rel kereta,
                     popular, menjadi pembicaraan ibu-ibu, bapak-bapak dan idola anak-anak.
                        Bisik-bisik orang sekitar yang sering terdengar, “Dia tampan. Dia beda dibanding

                     yang lain,” kata seorang ibu yang nongkrong bersama anak di bawah usia tiga tahun
                     di bentangan baja rel kereta, dan beberapa wanita tetangganya.
                        “Kalau aku punya anak perempuan, akan aku nikahkan dengannya,” kata satunya.
                        “Aku juga mau jadi istrinya. Keberapapun tidak masalah,” tambah wanita muda

                     lainnya.
                        “Mana mau dia?”
                        “Lha anakmu tadi; mana mau dia jadi menantumu.”

                        “Iya ya…. Kita miskin, gelandangan, secantik apapun rasanya kurang pas bagi
                     masinis.”
                        Mereka tertawa, menertawakan diri sendiri.

                        Di seberang sana, Abdul mematut-matut diri. Rambutnya diputar-putar biar agak
                     ikal. Ia kempiskan cembung pipinya agar mukanya kelihatan menipis tapi berisi kayak
                     Kang Somad. Abdul mengidolakan Kang Somad, bukan mau jadi masinis, tapi cukup

                     seganteng Kang Somad.
                        “Salah ibu memang,” gerutu Abdul. “Cetakannya mamang begini.”
                        Abdul merasa gagal mengaplikasikan wajah Kang Somad ke wajahnya. Pipi Abdul
                     memang gembul, sama seperti perutnya.


                                                          



                                                           18
   13   14   15   16   17   18   19   20   21   22   23