Page 20 - episode-1
P. 20

Namamu Sulastri                                                        Episode I


                        “Masih limabelas, belum tujuhbelas.” Nada bicara Kang Somad.
                         “Dua tahun kurang tiga lagi tujuhbelas,” potong Lastri. “Sudah dewasa.”
                        “Itu remaja namanya.”

                        “Dewasa!”
                        “Lastri baru lulus SMP.” Mak Rose ingin mengatakan, “belum pantas sandar di
                     pundak laki-laki yang baru dikenalnya.” Mak Rose menarik tangan Lastri sesantun
                     mungkin, menjaga perasaan pelanggan barunya.

                        Begitupun Kang Somad merasa, meski tidak tersinggung. “Biarkan,” kata Kang
                     Somad, “Namanya anak.” Kang Somad tetap menganggap Lastri anak-anak, bukan
                     remaja apalagi dewasa; dia membiarkan Lastri sandar di lengannya jika Mak Rose

                     tidak menariknya.
                        Parmin yang sedari tadi terpukau, masih belum sanggup mengucap sekata pun. Ia
                     hanya mengangkat cangkir berulang-ulang, menikmati kopi sampai habis sebelum
                     kopi itu dingin benar.

                        Lastri pamit meninggalkan mereka, masuk ke warung, “Aku ganti pakaian dulu,”
                     ujarnya.
                        Suasana hening sejenak. Parmin kelihatan canggung. Emak  Rose  juga seperti

                     menjaga sikap santun kepada orang yang baru dikenalnya. Kang Somad juga. Dia
                     merasa kenal banyak orang ketika melintas di jembatan, tapi di Warung Mak Rosidah
                     dia baru pertama kali.
                        “Perkenalkan saya Parmin,” kata Parmin memecahkan keheningan. “Pen-jaga

                     pintu rolak.” Parmin berusaha mencairkan kecanggungan.
                        Kang Somad menyambut uluran tangan Parmin.
                        “Rolak itu Bahasa Jawa dari pintu air—bendungan,” saut Mak Rose setelah tahu

                     Kang Somad merasa asing mendengar kata rolak.
                        “Rolak yang di sana itu?” tanya Kang Somad sambil menunjuk ke arah bangunan
                     pintu air tempat Parmin bekerja. “Setiap kali lewat, saya ingin naik ke atas bangunan

                     itu. Bangunan kuno kelihatannya.”
                        Parmin bangga tempat kerjanya menarik perthatian Kang Somad. “Kapan saya ajak
                     naik ke ruang operator. Dari atas sana Kang Somad bisa melihat muara. Apalagi pagi

                     hari saat matahari terbit, warna merah jingga di kaki langit di timur sana terlihat indah
                     sekali,” cerita Parmin promosi keindahan pemandangan dari ruang tempat kerjanya.”
                        Kang Somad semakin tertarik.
                        “Pada 1912, Pemerintah Belanda membangun pintu air itu untuk  pengendali

                     banjir  pasang air laut dari timur,” kata Kang Somad membuka catatan sejarah di
                     otaknya. “Arsitekturnya dikerjakan oleh orang Belanda, GC Citroen. Semula pintu




                                                           20
   15   16   17   18   19   20   21   22   23   24   25