Page 15 - episode-1
P. 15

Namamu Sulastri                                                        Episode I


                        “Sudah; capek. Abdul malah makan. Kita main sendiri, yuk,” ajak Lastri ke dua
                     teman kecilnya, Najib dan Akmal. “Aku guru, kalian muridnya,” tambah Lastri. “Kita
                     nyanyi Garuda Pancasila.”

                        Mereka menyanyi di tengah gemuruh air yang berebut keluar dari satu dari empat
                     pintu yang dibuka; kedengaran sumbang. Bu guru Lastri megulang-ulang lagunya,
                     sampai mereka haus tak juga ketemu harmonisasinya.
                        “Capek bu guru,” kata Najib.

                        “Kita belajar berhitung saja.” Lastri mengambil pecahan batu merah, menuliskan
                     angka-angka. “Ini angka satu, ini angka dua…..Kalau satu ditam-bah satu sama
                     dengan berapa?”

                        Tidak ada yang menjawab. “Du….a,” kata Lastri.
                        Belajar bernyanyi dan berhitung itu berakhir setelah ketiganya bosan, lelah dan
                     tertidur di trotoar jembatan. Semua waktu bagi anak-anak di jembatan itu hanya
                     untuk bermain, tidur siang pun karena capek main. Hanya malam Lastri harus tekun

                     belajar.

                                                            


                     Berapa lama harus menunggu anak elang bebas terbang?
                        Lastri tak sabar. Lastri jenuh menunggu masa kecilnya tak kunjung menjadi
                     remaja. Merasa menjadi beban banyak orang. Mak Rose harus banting tulang, bangun
                     sejak tengah malam, masak untuk dagangan di warung, untuk membiayai sekolah

                     Lastri.
                        Yu Sri sama. Dia juga memikirkan Lastri kendati hasil dagang kardus bekas tidak
                     seberapa besar. Yu Sri hanya beruntung merasa ikut punya anak.  Parmin apalagi;

                     penjaga pintu rolak itu menunda keinginannya menikahi Yu Sri untuk membantu
                     biaya sekolah Lastri.
                        Ketiga orang bertetangga senasib hidup susah, di sepanjang bentangan rel kereta,
                     sepakat berbagi beban. Mak Rose menanggung beban kebutuhan makan sehari-hari

                     dan sebagian iuran bulanan sekolah Lastri; sebagian iuran dan buku dibantu Parmin.
                     Beban Yu Sri uang saku harian Lastri. Kadang Yu Sri juga membantu membayar uang
                     iuran sekolah Lastri kalau kardus bekas dagangannya laku.

                        Semua itu menjadi beban pemikiran Lastri setelah menyelesaikan pelajaran SMP;
                     Mak Rose dan lainnya berpikir menyekolahkan Lastri ke SMA. Beban semakin berat,
                     sementara ekonomi tak kunjung berubah.
                        “Ijinkan Lastri berhenti sekolah; Lastri akan bekerja,” kata Lastri.

                        Mak Rose tegas menolak. “Kamu harus sekolah,” kata Mak Rose.


                                                           15
   10   11   12   13   14   15   16   17   18   19   20