Page 19 - episode-1
P. 19
Namamu Sulastri Episode I
Tamu baru Warung Mak Rosidah.
Di suatu pagi, seorang laki-laki berbadan tegap, berkacamata hitam ber-jalan santai
menapaki bantalan rel. Kacamata itu sepertinya dimaksudkan untuk menutup
sebagian identitasnya. Hari masih pagi; sinar matahari baru hangat dengan bayang-
bayang panjang. Masih juga ditambah tutup kepala.
Tak banyak orang memperhartikannya. Laki-laki itu menuju Warung Mak
Rosidah, mengucapkan salam. “Pagi bu”. Suaranya terdengar berat bertenaga. “Bisa
pesan kopi?”
“Sebentar ya….. airnya belum mendidih,” jawab Mak Rose dari belakang sekat
anyaman bambu, ramah juga.
Terlalu pagi. Hari Minggu lagi, tidak banyak pelanggan datang. Sebagian
pelanggan karyawan PDAM libur. Warung baru buka setengah pintu. Laki-laki itu
tamu pertama. Sebentar kemudian datang Parmin. “Mak….. kopi..” kata Parmin
sambil melongok ke dapur warung.
Sebentar kemudian Mak Rose keluar, menyiapkan kopi untuk Parmin dan laki-
laki yang tak dikenal itu. Pagi seperti ini biasanya pelanggan yang datang, jarang orang
asing; pasti orang sekitar dan karyawan PDAM, yang hampir rutin datang setiap pagi,
ngopi, sarapan, atau sekedar menyapa Mak Rose.
Baru saja Mak Rose menyajikan cangkir di meja, Lastri keluar dari ruang belakang
warung.
“Kang Somad?” kata Lastri ragu.
“Kang Somad….?” Parmin juga tak yakin. Hampir 10 menit ia dekat laki-laki itu,
ia tidak mengenalinya. “Bukan….,” Parmin bergumam sendiri sambil mencermati
laki-laki di sebelahnya. “Kamu salah orang Lastri,” kata Parmin.
“Dia Kang Somad, masinis di bingkai jendela kereta itu,” tegas Lastri.
Laki-laki bergeming sampai Lastri merangkulnya,
“Bagaimana kamu mengenali aku?”
“Kenapa nggak kenal? Kang Somad selalu hadir dalam mimpi-mimpiku. Lengkap
sebadan, bukan hanya kepala saja,” kata Lastri, sambil menyandarkan kepalanya ke
lengan Kang Somad.
Kang Somad terperangah. Kata-kata seperti itu semestinya godaan wanita dewasa
kepada laki-laki pujaannya. Tapi ia merasa Lastri sekedar menggo-danya. “Tak
mungkin anak sekecil Lastri berkata begitu,” batin Kang Somad.
“Berapa umurmu?”
“Limabelas.”
“Masih limabelas tahun?”
“Sudah limabelas.”
19