Page 17 - episode-1
P. 17
Namamu Sulastri Episode I
3
CANDA KERETA
Tebar merah jingga menggores panjang langit di ufuk timur, bola api matahari
tepat di tengahnya. Pagi belum menyibak putih embun yang melayang di permukaan
sungai ketika klakson kereta memberikan tanda kedatangannya.
Semua orang di sepanjang lintasan, juga mereka yang menunggu di belakang
bentangan palang pintu, memastikan Kang Somad yang akan lewat. Langkah-langkah
bergegas menyeberangi rel saat pintu lintasan perlahan diturunkan. Satiman, penjaga
lintasan, berdiri di tengah bentang pintu; sekali-sekali meniup peluit, mengangkat
tongkat ‘mata sapi’, mengingatkan orang yang masih juga hendak melintas.
Lastri ada di antara mereka, menunggu kereta lewat di belakang palang lintasan.
Dia tidak mengerti orang ribut tentang Kang Somad, Kang Somad, Kang Somad.
Dari balik tikungan yang masih berselimut kabut, deru mesin diesel lokomotif
terdengar kencang. Baja rel jalan kereta yang masih terasa dingin pagi itu, bergetar
semakin kencang. Suara klakson itu terdengar bernada, panjang, pendek, pendek,
terdengar khas selama beberapa pekan terakhir setiap kereta itu melintas.
Kereta melaju perlahan-lahan hendak memasuki stasiun beberapa ratus meter lagi.
Deru mesin semakin nyata, mengalahkan segala suara. Sekali lagi klakson dibunyikan
panjang, jauh lebih panjang dari sebelumnya. Derit rem terdengar bagai sembilu
beradu mengurangi laju mendekati lintasan sebidang jalan raya.
Laki-laki muda menampakkan muka di bingkai jendela kabin masinis, menebar
senyum, melambaikan tangan, bersalam sepanjang lintasan. “Kang Somad,” teriak
mereka. Lastri tidak. Saat tangan Kang Somad menunjuk ke arah orang berderet di
belakang palang pintu lintasan, Lastri juga tidak merasa telunjuk itu mengarah
kepadanya, sampai laki-laki di bingkai jendela kabin berteriak. “Rambut dikepang.”
“Saya…..?” kata Lastri ragu, menoleh kiri-kanan dan belakang, mencari rambut
dikepang. Hanya dia. ”Saya Lastri…!” kata Lastri setengah berteriak.
“Kamu cantik…..” teriak Kang Somad.
“Pasti, aku perempuan,” batin Lastri.
Bukan ‘pujian cantik’ pertama; Lastri berulang kali mendengarnya. Mak Rosidah,
selalu memujinya ketika Lastri bercermin mamatut diri. Yu Sri, Parmin dan banyak
orang lagi. Tapi dari laki-laki di kereta itu baru sekali ini dari beberapa kali pertemuan
di sepanjang rel kereta.
17