Page 12 - episode-1
P. 12

Namamu Sulastri                                                        Episode I


                     menuju warung. “Lastri selalu saja mengulangi.” Agak jengkel juga Mak Rose kepada
                     Lastri.
                        Lastri bukan lupa sebenarnya, juga bukan membantah; sepanjang kaki melangkah

                     hanya rel dan kereta serta sungai itu alam Lastri. Semua dekat bahaya. Di situ tempat
                     bermain Lastri bersama teman-temannya. Di mana lagi? Bermain boneka, Lastri tak
                     suka—tidak ada teman perempuan di  dekat rumah,  Dia  lebih memilih bermain
                     pedang dan perang, ada temannya Abdul, Najib dan Akmal.  Kalaupun dikurung di

                     rumah, Lastri terlalu lincah untuk mau mengistirahatkan kakinya.
                        “Apa kau tidak takut tercebur?” tanya Mak Rose.
                        “Emak takut; Lastri tidak.”

                        Selalu itu yang dikatakan Lastri setiap Mak Rose mengingatkan dia tentang sungai.
                     “Ada bangau, ada perahu ada ikan di sana,” kata Lastri.
                        Sungguh Mak Rose sangat protektif  kepada Lastri. Daftar kata ‘jangan’ dan ‘tidak’
                     —ekspresi trauma kehilangan anak— terlalu panjang bagi Lastri. Sejak tahun pertama

                     menempati rumah warung, ia selalu membayangkan jebakan bahaya setiap kereta
                     lewat. Sehari-hari hidup di sepanjang jalur kereta bukan pilihan, tapi di mana dia
                     mencari tempat lain? Lahan tempatnya mendirikan rumah warung itu milik PT KAI

                     yang dia sewa atas seijin pemilik.
                        Peristiwa 4 November yang lalu, ketika ibu Lastri tertabrak kereta, menjadi bukti
                     kebenaran kecemasan Mak Rose. Dia tidak melihat ada hikmah— kecuali kematian
                     manusia—  di balik petistiwa itu. Padahal jebakan bahaya itu pula yang

                     mempertemukan dia dengan Lastri barunya.
                        Mak Rose masih ingat benar jasad ibu Lastri berserakan di rel kereta  lebih setahun
                     lalu. Lastri tidak. Mungkin karena Lastri pingsan ketika ibunya melemparkan dia ke

                     seberang rel, Lastri sama sekali tidak ingat bagaimana kecelakaan itu terjadi. Kengerian
                     akibat peristiwa itu tidak menggores kalbu Lastri.
                        Hanya sekali bayangan putih ibunya hadir dalam mimpi Lastri. Ibunya mengusap

                     rambut dan bernyanyi menina-bobokan Lastri hingga terpejam matanya. Ketika Lastri
                     menanyakan sosok ayah, bayangan itu membujuk dan menghibur. “Ayahmu lupa ke
                     mana jalan pulang. Kelak kau akan menemui dia. Ibu akan membawa kamu ke sana.”

                         “Ibu..” Lastri menggapai bayangan yang tak terpegang. “Ibu.”
                        “Ssssss.” Mak Rose terbangun menenangkan Lastri.
                        “Kamu mimpi?” tanya  Mak  Rose. Lastri menarik nafas panjang, meredah-kan
                     ketegangan pertemuan dalam mimpi dengan ibunya; mengedip-kedipkan matanya,

                     menatap atap rumah dalam redup cahaya lampu. Cucuran keringat berbintik-bintik
                     di dahi, di tangan dan di punggungnya.




                                                           12
   7   8   9   10   11   12   13   14   15   16   17