Page 120 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 6 NOVEMBER 2020
P. 120
Selain uji formil, dia juga melihat masalah terkait prosedur pembentukan UU Cipta Kerja yang
menerapkan pola Omnibus Law, uji materiil tentu terkait dengan pengujian substansi norma
yang diatur dalam undang-undang tersebut terhadap norma konstitusi di dalam UUD 1945.
"Mengingat cakupan masalah dalam Undang-Undang Cipta Kerja ini begitu luas, maka setiap
pemohon akan fokus terhadap pasal-pasal yang menyangkut kepentingan mereka. Kita tentu
ingin menyimak apa argumen para pemohon dan apa pula argumen yang disampaikan
Pemerintah dan DPR dalam menanggapi permohonan uji formil dan materiil tersebut," tutur
Yusril.
Dia juga menyinggung soal salah ketik, seperti yang diakui Menko Polhukam Mahfud soal clerical
error yang terjadi. Yusril menyadari, semua terjadi karena proses pembentukan undang-undang
ini dilakukan tergesa-gesa sehingga mengabaikan asas kecermatan.
Menurutnya, kalau kesalahan itu hanya salah ketik saja tanpa membawa pengaruh kepada
norma yang diatur dalam undang-undang itu, maka Presiden atau bisa diwakili Menko Polhukam,
Menkumham, atau Mensesneg dan Pimpinan DPR dapat mengadakan rapat memperbaiki salah
ketik seperti itu.
Naskah yang telah diperbaiki itu nantinya diumumkan kembali dalam Lembaran Negara untuk
dijadikan sebagai rujukan resmi.
"Presiden tidak perlu menandatangani ulang naskah undang-undang yang sudah diperbaiki salah
ketiknya itu," jelas Yusril.
Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati justru
memandang tak tepat jika masalah UU Cipta Kerja ini dibawa ke MK. Salah satu alasannya,
karena materinya banyak. Dia mencontohkan bagaimana uji materi Undang-Undang KPK yang
sudah sampai setahun belum ada putusan.
"Tidak tepat, Karena materi undang-undang sangat banyak, pihak yang JR (Judical Review)
banyak. Jadi pasti waktu sidang akan sangat lama. JR revisi UU KPK saja, sudah setahun belum
putusan. Tapi lebih dari itu, pemerintah dan DPR harus tanggung jawab. Masa mereka yang buat
masalah, pihak lain yang disuruh bersihin masalahnya seperti orang yang bikin piring kotor,
nyuruh orang lain cuci piring," kata Asfinawati kepada Liputan6.com, Rabu (5/11/2020).
Menurut dia, seharusnya fraksi yang tak setuju dengan UU Cipta Kerja ini seperti PKS dan
Demokrat mengajukan RUU inisiatif yang mengusulkan pencabutan UU Cipta Kerja.
"Fraksi yang enggak setuju kan bisa mengajukan RUU inisiatif DPR berupa RUU Pencabutan UU
Cipta Kerja. Alasannya karena sudah cacat formil," ungkap Asfinawati.
Dia menegaskan, banyak sekali masalah konstitusi dalam pasal RUU Cipta Kerja. Namun, dirinya
memilih untuk tidak menjabarkannya, kaena prosedur pembentukannya sudah cacat.
"Banyak sekali masalah konstitusi di pasal, tapi sebelum ke pasal bicara prosedur pembentukan
saja sudah cacat, untuk apa bicara subtansi pasal," jelas Asfinawati.
Dihubungi terpisah, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai
secara politis persidangan gugatan UU Ciptaker "9 hakim itu dipilih dari DPR, 3 dari Presiden.
Sudah 6 mayoritas yang memiliki interelasi keterkaitan dengan pembuat undang-undang kan.
Kedua, hakim MK itu kan udah dapat hadiah dari pembuat undang-undang berupa kenaikan
masa jabatan menjadi 15 tahun. Nah sulit bagi hakim kemudian membangun proses persidangan
yang punya marwah," jelas Feri kepada Liputan6.com, Rabu (5/11/2020).
119