Page 192 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 8 OKTOBER 2020
P. 192
"Iya dituntut lebih produktif karena upah didasarkan pada satuan waktu dan hasil, tapi dengan
tingkat upah dan kesejahteraan yang sangat rendah," kata Fildzah, di Jakarta, Rabu.
Fildzah merujuk pasal 88 B UU Ciptaker disebutkan bahwa upah ditetapkan berdasarkan dua hal,
yaitu satuan waktu dan satuan hasil. Itu berarti, lanjutnya, upah yang diterima pekerja akan
lebih besar jika waktu bekerja lebih lama dan hasil pekerjaan lebih banyak.
"Kita sudah bisa melihat contohnya para supir taksi dan ojek daring di ekonomi perusahaan-
perusahaan seperti Gojek, Grab, dan lain-lain. Mereka kan kerja berdasarkan order yang mereka
terima. Mereka bisa bekerja melebihi jam kerja pada umumnya, misalnya delapan jam kerja,
karena ingin mendapatkan penghasilan yang lebih," kata Fildzah.
Namun, kata Fildzah, bukan jaminan bahwa pekerja akan mendapatkan besaran upah dan
tingkat kesejahteraan yang layak pada satu pekerjaan yang diampu kepadanya.
"Sebab, struktur dan skala upah ditentukan oleh kemampuan perusahaan," ujarnya.
Fildzah mengatakan ketentuan semula berdasarkan pasal 92 Undang-Undang Ketenagakerjaan
diubah dengan UU Omnibus Law tersebut. Kini, dengan disahkannya UU Cipta Kerja itu,
pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan
kemampuan perusahaan dan produktivitas.
Semula, pada pasal 92 UU Ketenagakerjaan, pengusaha menyusun struktur dan skala upah
dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi pekerja.
Struktur dan skala upah digunakan sebagai pedoman pengusaha dalam menetapkan upah.
Kemudian ditegaskan pula melalui pasal sisipan setelahnya yaitu pasal 92 A yang menyebutkan:
'Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan
perusahaan dan produktivitas.' Fildzah mengatakan dirinya tidak dapat mendukung ruh yang
ada di dalam Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja.
"Kalau, kesannya kayak pro sama omnibus law. Padahal saya menentang," kata Fildzah
menandaskan.
191

