Page 98 - KLIPING KETENAGAKERJAAN 16 OKTOBER 2020
P. 98

TAK MAMPU BAYAR PESANGON, PENGUSAHA UNGKIT KEBURUKAN PENETAPAN
              ATURANNYA
              Isu pesangon menjadi salah satu yang mendapatkan banyak sorotan dari para pekerja di UU
              Cipta Kerja. Pasalnya, besaran pesangon yang didapat jadi berubah, dari 32 kali gaji menjadi 25
              gaji  saja.  (Ketua  Umum  Asosiasi  Pengusaha  Indonesia  (APINDO)  Hariyadi  Sukamdani
              mengatakan, pemberian 32 gaji untuk pesangon para pekerja dinilai sangat sulit sekali. Makanya,
              ada  beberapa  perusahaan  yang  tidak  patuh  menjalankan  UU  No.  13  Tahun  2003  soal
              Ketenagakerjaan karena tidak mampu.

              "Itu  kalau  32  sulit  sekali.  Jadi  kalau  32  kondisi di  lapangan kan  memang  berat  sekali,"  ujar
              Haryadi saat ditemui di Menara Kadin, Jakarta, Kamis (15/10/2020).

              Hariyadi pun menjelaskan, selain pesangon, para pengusaha juga harus mencadangkan jaminan
              sosial. Dan jumlah untuk membayar jaminan sosial itu cukup besar, yakni di kisaran 10,24%
              hingga 11,74% dari pengeluaran perusahaan.
              "Selain pesangon kami juga harus mencadangkan yang namanya biaya untuk jaminan sosial.
              Kami harus membayar iuran untuk BPJS Ketenagakerjaan dan juga kesehatan. Kalau kita bicara
              di  jaminan  sosial  saja  sudah  10,24%  sampai  11,74%.  Ada  perbedaannya  karena di  jaminan
              kecelakaan kerja, preminya tergantung risiko," jelasnya.
              Tak hanya itu, perusahaan juga harus memberikan upah bulanan yang mana selalu naik karena
              menyesuaikan dengan inflasi. Sehingga jika harus membayar 32 kali gaji, banyak perusahaan
              yang tidak mampu. ("Belum lagi nanti dari upah sebulan karena kenaikan upah minimum. Jadi
              kondisi  itu  yang  membuat  pada  saat  pesangon  diberikan  itu  perusahaan  banyak  yang  tidak
              mampu. Mayoritas tidak mampu," jelasnya.

              Lagi pula lanjut Hariyadi, dalam UU Ketenagakerjaan, urusan pesangon dibuat ngawur. Saat itu,
              pemerintah langsung menetapkan angka tanpa melibatkan proses akademik.
              "Saya juga ikut waktu pembahasan UU 13/2003. Mohon maaf, waktu itu juga rada ngawur.
              Pokoknya taruh aja satu angka tanpa kajian akademik melibatkan aktuaria, itu tidak ada. Saya
              ingat banget waktu itu kondisinya tidak seperti itu. Seingat saya waktu itu di bawah 19 kali.
              Kalau tidak salah kita bicaranya hanya 9 kali. Tapi karena persoalan politik waktu itu, kebetulan
              juga Pak Jacob Nuwa Wea adalah Menteri Ketenagakerjaan dan juga Ketua Serikat Pekerja,
              sehingga berubah itu semua," jelasnya.

              (uka).

























                                                           97
   93   94   95   96   97   98   99   100   101   102   103