Page 397 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 9 OKTOBER 2020
P. 397

DPR. Seharusnya setiap fraksi yang merupakan elemen penting di dalam DPR diberikan akses
              seluas-luasnya dalam pembahasan suatu RUU, termasuk menerima draft utuh RUU yang akan
              dibahas atau akan diputuskan, sebelum diminta menyiapkan dan menyampaikan pendapat mini
              maupun pendapat akhir. Dan itu yg sudah menjadi konvensi di DPR," tuturnya.

              Sesuai kebiasaan ketatanegaraan atau konvensi dalam penyusunan rancangan undang-undang,
              setiap fraksi dikirimi draft naskah RUU secara utuh yang sudah disepakati dan selesai dibahas.
              Sehingga, pendapat mini apalagi pendapat akhir yang akan disampaikan pada pembicaraan akhir
              tingkat pertama (sebelum dibawa ke rapat paripurna) maupun pada tingkat akhirnya dalam rapat
              Paripurna DPR, dapat dilakukan secara benar, maksimal dan komprehensif.

              "Selain  hukum  yang  tertulis,  kebiasaan  atau  konvensi  ketatanegaraan  ini  juga  seharusnya
              menjadi pedoman dalam pembahasan/pengambilan keputusan terhadap Omnibus RUU Ciptaker.
              RUU ini memiliki dampak kepada lebih dari 78 undang-undang yang berlaku saat ini," ujarnya.

              Apalagi kebiasaan tersebut juga sejalan dengan Pasal 163 huruf c dan e Peraturan DPR No. 1
              Tahun 2020 tentang Tata Tertib. Ketentuan tersebut menyebutkan bahwa pada pengambilan
              keputusan tingkat I terdapat acara pembacaan  naskah akhir rancangan undang-undang dan
              penandatanganan naskah rancangan undang-undang.

              Selanjutnya,  dari  segi  substansi,  kata  Hidayat  terdapat  banyak  intisari  dalam  RUU  itu  yang
              bermasalah,  terutama  terkait  isu  investasi  asing  yang  seakan  menjadi fokus  utama  RUU  ini.
              "Masalah  investasi di  Indonesia  sebenarnya  bukan  soal  perubahan  regulasi,  tetapi  mengenai
              merajalelanya KKN dan inefisiensi birokrasi. Itu seharusnya jadi prioritas yang difokuskan oleh
              Pemerintah," tukasnya.

              HNW menilai RUU ini sangat condong kepada investasi asing dan banyak merugikan kepentingan
              kaum pekerja dari warga negara Indonesia, terutama para pekerja atau buruh. "RUU ini tidak
              melaksanakan perintah pembukaan UUD NRI 1945, agar negara memprioritaskan melindungi
              tumpah darah Indonesia dan seluruh rakyat Indonesia," ujarnya.

              HNW juga menilai bahwa RUU Ciptaker ini tidak memberikan kepastian hukum sebagai bagian
              dari prinsip negara hukum yang dijamin oleh UUD NRI 1945. Ia menyebutkan bahwa awalnya
              RUU  Ciptaker  ini  dihadirkan  untuk  memberikan  kepastian  hukum  dan  menyederhanakan
              peraturan, tetapi yang terjadi justru sebaliknya.

              "Disayangkan,  rancangan  tersebut  tidak  sesuai  dengan  tujuannya.  Karena  RUU  ini  justru
              mengamanatkan banyak ketentuannya untuk diatur dalam peraturan pemerintah (PP), sehingga
              membuat  peraturan  tidak  menjadi  sederhana,  dan  penuh  spekulasi  politik,  kata  putusnya
              tergantung  kepada  pemerintah  pemilik  kekuasaan  politik.  Suatu  hal  yang  tak  sesuai  dengan
              prinsip Negara Hukum di Negara demokratis seperti Indonesia," tukasnya.

              HNW menyayangkan sekalipun terdapat banyak masalah dan masifnya penolakan oleh banyak
              elemen bangsa, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama, Muhamadiyah, Kongres
              Umat Islam ke VII, Serikat-Serikat Pekerja, para pakar, organisasi buruh, dan aspirasi konstituen,
              RUU tersebut tetap diambil keputusan akhir dalam rapat paripurna DPR. Sekalipun FPKS dan
              FPD tetap memegangi sikap semulanya yaitu menolak ditetapkannya RUU ini menjadi UU.

              Apalagi, lanjut HNW, hingga rapat paripurna selesai, bahkan hingga saat ini, belum ada naskah
              UU Ciptaker resmi yang disampaikan ke fraksi-fraksi dan ke publik. Ia mengkhawatirkan hal itu
              justru akan menambah persoalan karena ada potensi bahwa draft akhir RUU tersebut berbeda
              dengan yang disepakati di Panja, karena tidak ada akses bagi Anggota DPR maupun publik untuk
              membaca draft RUU itu secara utuh.

              Karenanya,  HNW  mendukung,  bila  Presiden  Jokowi  mempertimbangkan  serius  masalah  ini,
              apalagi darurat kesehatan akibat pandemi korona, juga belum nampak kapan akan melandai.
                                                           396
   392   393   394   395   396   397   398   399   400   401   402