Page 17 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 12 OKTOBER 2020
P. 17
(amdal) dinilai oleh komisi penilai amdal yang dibent.uk menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai kewenangan. Jika tak ada amdal, maka izin lingkungan tak boleh terbit.
Nah, sekarang ketentuan itu dihapus. UU Ciptaker menyebutkan bahwa dokumen amdal menjadi
dasar uji kelayakan lingkungan hidup oleh tim uji dari lembaga uji kelayakan di
pemerintah pusat. Keputusan kelayakan lingkungan hidup ini menjadi persyaratan penerbitan
perizinan berusaha atau persetujuan pemerintah.
Bukan saja hilangnya kewenangan memproses dan menerbitkan amdal, daerah juga kehilangan
wewenang melakukan konsultasi penentuan wilayah potensial minyak dan gas bumi (Pasal 40).
Selain itu, kewenangan daerah dalam memberikan persetujuan kawasan ekonomi khusus juga
turut dihilangkan (Pasal 150) Bab IX.
Selain soal izin lingkungan, sederet perizinan usaha juga beralih dari tangah daerah menjadi
wewenang penuh pusat. Sederet perizinan yang bakal dilakukan secara terpusat antara lain izin
prinsip, izin mendirikan bangunan (IMB), izin domisili, hingga izin usaha toko modern.
Dengan demikian, tidak diperlukan lagi perizinan dan persetujuan dari masing-masing daerah.
Selain itu, UU Ciptaker juga mempermudah perizinan usaha dari yang awalnya berbasis izin
menjadi berbasis risiko dan skala usaha. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 7 Bab III. Tingkat
risiko adalah potensi terjadinya bahaya terhadap kesehatan hingga lingkungan. Untuk bisnis
berisiko rendah perizinan usaha hanya cukup dengan nomor induk berusaha (NIB).
Izin bisnis berisiko menengah ditambah dengan pemenuhan sertifikat standar. Sedangkan yang
berisiko tinggi membutuhkan persetujuan dari pemerintah pusat untuk memulai usaha.
Penerapan perizinan berusaha ini membuat proses perizinan diklaim menjadi lebih sederhana
dan ber-standar secara nasional.
Klaster tenaga kerja
Masih dalaMKerangka mempermudah aktivitas dunia usaha dan menarik investasi, UU super
yang merevisi beberapa UU ini juga merombak beberapa poin penting yang sebelumnya diatur
UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pasal yang terutama disoroti yakni menyangkut pekerja alih daya atau outsourcing. Ada
perubahan di Pasal 66 UU Nomor 13 Tahun 2003 yang direvisi di omnibus law UU Cipta Kerja.
Di UU Ketenagakerjaan, pekerjaan outsourcing dibatasi hanya untuk pekerjaan di luar kegiatan
utama atau yang tidak berhubungan dengan proses produksi kecuali untuk kegiatan penunjang.
Sementara di Pasal 66 UU Cipta Kerja, tidak dicantumkan lagi batasan pekerjaan yang dilarang
dilakukan oleh pekerja alih daya. Artinya, terbuka kemungkinan bagi perusahaan
mempekerjakan pekerja outsourcing untuk berbagai tugas, termasuk pekerja lepas dan pekerja
penuh waktu.
Pasal krusial yang juga kontroversial dalam UU Ciptaker adalah dihapuskannya Pasal 59 UU
13/2003 yang mengatur masa kerja karyawan dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)
paling lama 3 tahun. Konsekuensi dari hilangnya pasal tersebut, perusahaan tidak lagi memiliki
batasan waktu untuk melakukan perjanjian kontrak kerja dengan pekerjanya. "Ketentuan Pasal
59 dihapus," bunyi RUU Cipta Kerja yang sudah disahkan menjadi UU Cipta Kerja.
Soal pesangon juga mengalami perubahan aturan. Dalam UU Ketenagakerjaan, aturan soal
pesangon PHK yang sebanyak 32 kali upah dinilai sangat memberatkan pelaku usaha, sehingga,
mengurangi minat investor.
16