Page 306 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 19 OKTOBER 2020
P. 306
ketentuan dalam omnibus law itu cenderung merugikan pekerja atau menimbulkan
ketidakpastian hukum karena bersifat abu-abu.
"Pemerintah lupa ada hal yang sangat tidak seimbang antara pekerja dan pengusaha," kata
Nabiyla dalam diskusi virtual, Jumat, 16 Oktober 2020.
Nabiyla mengatakan, hakikat hukum ketenagakerjaan adalah memberikan perlindungan bagi
pekerja. Artinya, kata dia, peran negara harus menjadi penyeimbang hubungan yang tak
seimbang antara pekerja dan pengusaha.
Nabiyla pun mengkritik narasi pemerintah yang menyatakan suara pengusaha juga perlu
didengarkan. Narasi ini sebelumnya pernah disampaikan olehMenteri KetenagakerjaanIda
Fauziyah. Menurut Nabiyla, narasi tersebut menandakan pemerintah lupa posisinya sebagai
penyeimbang.
"Ketika negara bersikap netral, ketika aturannya tidak secara eksplisit melindungi pekerja, itu
sebenarnya pemerintah secara tidak langsung sedang berada di pihak yang melindungi
pengusaha," kata Nabiyla.
Nabiyla mencontohkan kontroversi ihwal pemutusan hubungan kerja dalam UU Cipta Kerja.
Pemerintah membantah adanya anggapan perusahaan dapat melakukanPHKsepihak kepada
pekerja seperti yang tertuang dalam perubahan Pasal 151 UU Ketenagakerjaan di UU Cipta Kerja.
Dalam Pasal 151 ayat (2) disebutkan, dalam hal PHK tidak bisa dihindari, maksud dan alasan
PHK diberitahukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh.
Kemudian dalam ayat (3) tertulis, jika pekerja/buruh menolak PHK, penyelesaian PHK wajib
dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat
pekerja/serikat buruh.
Pasal 151 ayat (4) lantas mengatur jika perundingan bipartit yang dimaksud dalam ayat (3) tak
mendapatkan kesepakatan, PHK dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai mekanisme
penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PPHI).
Adapun dalam UU Ketenagakerjaan tak dikenal istilah PHK melalui pemberitahuan. Akan tetapi,
PHK mewajibkan setidak-tidaknya pertemuan bipartit antara serikat pekerja dan pengusaha. Jika
tak ada kesepakatan maka mekanismenya berlanjut ke PPHI. Perusahaan pun harus menunggu
penetapan PPHI sebelum melakukan PHK.
"Jadi salah satu yang berubah adalah hilangnya kewajiban perusahaan untuk menunggu
penetapan PHI untuk PHK," kata Nabiyla.
Menurut Nabiyla, narasi pemerintah itu terkesan tidak salah jika dipandang dari kacamata netral.
Pekerja dianggap tetap bisa menolak PHK, meminta forum bipartit, hingga menempuh
mekanisme PPHI. Namun, kata dia, justru di sinilah ada kesalahan berpikir fatal yang digunakan
pemerintah.
Nabiyla mengatakan Pasal 151 ini dibangun dari logika yang terlalu berpikir positif bahwa
hubungan pekerja dan pengusaha setara. Kata dia, faktanya tidak seperti itu. Nabiyla
mempertanyakan berapa banyak pekerja yang memahami haknya ketika terjadi PHK atau berani
menuntut forum bipartit hingga menempuh mekanisme PPHI.
"Itu logika yang menggampangkan dan tidak peka terhadap kondisi sosiologis pekerja itu
sendiri," ujar Nabiyla.
.
305