Page 139 - KIRIMAN CATATAN PRAKTIK BUDDHADHARMA DARI LAUTAN SELATAN
P. 139
BAB IV
PERBEDAAN ANTARA MAKANAN MURNI DAN TIDAK
MURNI
DI India, antara para biksu dan perumah tangga, sudah menjadi
kebiasaan untuk membedakan antara makanan ‘bersih’ (murni) dan
‘tidak bersih’ (tidak murni). Jika sesuap makanan telah disantap,
itu menjadi ‘tidak murni’ (secara harfiah: ‘sudah disentuh’); dan
peralatan makan di mana makanan diletakkan seharusnya tidak lagi
digunakan. Begitu makanan selesai disantap, peralatan makan diambil
dan ditumpuk di suatu sudut. Semua makanan yang tersisa diberikan
kepada mereka yang layak mengonsumsinya (seperti preta, burung,
dan sebagainya) karena sangat tidak tepat menyimpan makanan
untuk dikonsumsi lagi nantinya.
Ini adalah kebiasaan yang dilakukan oleh orang kaya maupun
miskin, dan kebiasaan ini tidak hanya dilakukan oleh kita, para biksu,
tetapi bahkan oleh para Brahma (dewa). Disebut dalam beberapa
sastra: ‘Dianggap tidak layak jika tidak menggunakan kayu pembersih
gigi, dan tidak mencuci tangan setelah buang air besar, serta tidak
membedakan antara makanan murni dan tidak murni.’ Bagaimana
kita bisa menganggap adalah layak menggunakan kembali peralatan
dapur yang sudah tersentuh, menyimpan makanan yang tersisa di
dapur, menyimpan nasi yang tersisa ke dalam kendi, atau memasukkan
kembali sup yang tersisa ke dalam wadah? Begitu pula adalah tidak
layak mengonsumsi sup dan sayuran yang tersisa pada keesokan
harinya, atau menyantap sisa kue atau buah nantinya. Mereka yang
mengikuti aturan Vinaya mungkin mengetahui hal ini, tapi mereka
yang malas dan lalai mengikuti cara yang keliru. Baik saat resepsi
maupun bersantap sehari-hari, tak seorang pun diperkenankan
bersentuhan dengan orang lain atau mencicipi makanan segar apa
pun sebelum dia membersihkan mulutnya dengan air bersih, dan
125