Page 104 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 104
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
dan takhallus-nya, yaitu nama julukannya yang biasanya diambil dari nama
Ciri-ciri syair Hamzah tempat kelahiran penyair atau kota tempat sang sufi dibesarkan. Melalui
30
Fansuri yang
berhubungan langsung ungkapan itu penyair ingin menyatakan pula tingkat dan bentuk pengalaman
dengan perkembangan keruhanian yang dicapainya. Pada saat yang sama semua yang diungkapkan
Islam ialah: Pertama, penyair dalam sajaknya merupakan pengalaman pribadinya. Di sini individualitas
pemakaian penanda
kepengarangan seperti benar-benar ditekankan dalam penciptaan puisi. 31
faqir, anak dagang,
anak jamu, `asyiq dan Yang sangat menarik ialah penggunaan penanda atau tamsil anak dagang
lain-lain. Kedua, banyak
petikan ayat al-Qur’an, dalam syair-syairnya. Tamsil tersebut terutama berfungsi sebagai penanda
Hadis, pepatah dan kepengarangan atau kesufian, dan sering dipertukarkan dengan penanda lain
kata-kata Arab, yang seperti faqir dan anak jamu (orang yang bertamu). Pemakaian tamsil anak
beberapa di antaranya
telah lama dijadikan dagang dan faqir, diambil dari al-Qur’an dan Hadis. Di samping itu ia memiliki
metafora, istilah dan konteks sejarah, yaitu dengan sejarah penyebaran agama Islam pada masa
citraan konseptual awal yang dimulai dengan ramainya pelayaran yang dilakukan para pedagang
penulis-penulis sufi
Arab dan Persia. Ketiga, Muslim di kepulauan Nusantara pada bad ke-13 hingga abad le-16 M, hingga
dalam setiap bait akhir terbentuknya sejumlah komunitas Islam di kota-kota pesisir yang terdiri dari
ikat-ikatan syairnya para perantau asing.
sang sufi selalu
mencantumkan nama
diri dan takhallus-nya, Dalam bahasa Melayu kata dagang pada awalnya berarti merantau ke negeri
yaitu nama julukannya asing untuk melakukan urusan perniagaan atau mencari nafkah. Kata-kata
yang biasanya diambil
dari nama tempat ini diterjemahkan dari kata Arab gharib, yang artinya juga asing atau orang
kelahiran penyair atau asing. Rujukannya juga ditemui dalam Hadis, yang bunyinya, ”Kun fi al-dunya
kota tempat sang sufi ka’annaka gharibun aw ’abiru sablin wa `udhdha nafsahu min ashabi al-qubur”
dibesarkan. (”Jadilah orang asing atau dagang di dunia ini, singgahlah sementara dalam
perjalananmu, dan ingatlah akan azhab kubur.”). Dalam syairnya Hamzah
Fansuri menulis:
Hadis ini daripada Nabi al-Habib
Qala kun fi al-dunya ka’annaka gharib
Barang siapa da’im kepada dunia qarib
Manakan dapat menjadi habib 32
Jika sajak tersebut diindonesiakan maka secara harafiah bermakna, “Hadis ini
daripada Nabi yang mencintai Tuhan. Jadilah kau sebagai dagang di dunia ini.
Barang siapa karib dengan dunia atau mencintai dunia secara berlebihan, maka
ia tidak akan dapat menjadi pencinta-Nya yang sejati. Dalam syair tersebut,
pencinta Tuhan dipertentangkan dengan pencinta dunia atau orang yang terlalu
karib (qarib) pada dunia. Dagang atau faqir sejati ialah dia yang karib dengan
Tuhannya dan asing serta tidak terpaut sama sekali pada dunia.
Oleh penyair Melayu kata gharib, diterjemahkan dagang, sehingga berarti
33
”Orang atau diri yang asing terhadap dunia,” yaitu ahli suluk yang menyadari
90