Page 215 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 215

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







           Cerita Para Wali Sufi


           Cerita yang termasuk dalam katagori cerita para wali sufi, antara lain Pau-Paunna
           Rabiatule Adawia (Hikayat  Rabi‘ah al-Adawiyah),  Pau-Paunna Daramatasia
           (Hikayat Darma Taksia), Pau-Paunna Budeistihara (Hikayat Budistihara) dan lain-
           lain. Meskipun merupakan karya terjemahan, tetapi penyajian cerita-cerita ini
           disesuaikan dengan konvensi sastra dan konvensi budaya Bugis dan Makassar
           sehingga terasa sebagai milik masyarakat setempat.

           Selain karya terjemahan (saduran) di atas, orang Bugis dan Makassar juga menulis
           kisah wali sufi setempat, yaitu Hikayat Syekh Yusuf  al-Makassary. Masyarakat
           setempat lebih sering menyebut cerita ini dengan Riwayaqna Tuanta Salamaka
           ri Gowa (Riwayat Tuan Kita yang Selamat di Gowa) karena berisi kisah hidup
           tokoh wali sufi yang bernama Syekh Yusuf al-Makassary atau Tuanta Salamaka
           (Tuan Kita yang Selamat), dan ada pula yang menyebutnya Tuan Loweta ri Gowa
           (Tuan Kita yang Agung di Gowa). Gelaran-gelaran tersebut merupakan bentuk
           penghormatan masyarakat karena tokoh ini merupakan wali atau dan penyiar
           Islam di Sulawesi Selatan (Manyambeang, 1997: 53).

           Naskah Hikayat Syekh Yusuf cukup terkenal dikalangan orang Bugis dan
           Makassar.  Hal ini terlihat dengan jumlah naskah-naskah salinannya yang cukup
           banyak.  Sejauh  ini  ditemukan  46  naskah,  menggunakan  Bahasa  Bugis  dan
           Bahasa Makassar (Manyambeang, 1997: 97). Naskah ini  memuat perjalanan
           spiritual dan dakwah Syekh Yusuf. Komposisi isi antara lain tantang kelahiran
           dan masa remaja tokoh Syekh Yusuf. Selanjutnya, tokoh ini diceritakan masa
           menempuh pendidikan di  Gowa, meminang Putri Raja Gowa, perjalanan ke
           Mekkah, belajar pada Imam Empat, belajar pada Syekh Abdul Kadir Jailani,
           pertemuan dengan sejumlah ulama di negeri Arab, pertemuan dengan Nabi
           Musa as, Syekh Yusuf ke Banten menyiarkan Islam, masa pembuangan di Sailon,
           dan Syekh Yusuf wafat (Manyambeang, 1997: 122-123).


           Lontaraq ini sejalan dengan kajian sejarah yang menyebutkan bahwa Syekh Yusuf
           dilahirkan di Gowa pada tanggal 3 Juli 1626 M atau 8 Syawal 1036 H, adalah
           keturunan Gallarang Moncongloe. Masa kecil tokoh ini dihabiskan di Gowa, lalu
           belajar Islam di Aceh, Yaman, Hijaz (Mekkah), Syam, Damaskus, dan Damsyik.
           Setelah menempuh pendidikan Islam di negeri tersebut, ia lalu kembali ke Gowa
           menyebarkan Islam. Ia juga pernah menetap di Banten menyiarkan Islam dan
           wafat di Café Town, Afrika Selatan. Tokoh sufi ini telah melahirkan sejumlah
           karya, antara lain Sirrul Asrar (Rahasia dan Rahasia ilahi), Qurratul Ain (Penyejuk
           Mata), dan urat). Faham sufistik Syekh Yusuf memandang tuhan sebagai sintetis
           antara ta’thil (negasi sifat) dengan tasybih (penyerupaan). Sedangkan manusia
           dan alam merupakan bayangan Tuhan yang tampak secara nyata (Mustafa,
           2010: 41-48, 228)








                                                                                                201
   210   211   212   213   214   215   216   217   218   219   220