Page 216 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 216

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







                                    Cerita Petualangan dan Percintaan


                                    Cerita yang yang termasuk dalam katagori ini adalah cerita petualangan dan atau
                                    percintaan tokoh-tokoh cerita.  Cerita ini berasal dari Persi dan Dunia Melayu,
                                    lalu diterjemahkan ke dalam Bahasa Bugis dan Makassar. Cerita-cerita yang
                                    termasuk dalam katagori ragam sastra saduran adalah Sureq Baweng (Hikayat
                                    Bayan Budiman), Sureq Bekku (Hikayat Sultanul Injilai), Sureqna I Masé-Masé
                                    (Hikayat si Miskin), Sureqna La Béu (Hikayat Isma Yatim), Riwayaqna Marakarma
                                    (Hikayat Marakarma), Pau-Paunna Jayalangkara (Hikayat Jayalangkara, dan lain-
                                    lain. Cerita ini hidup dalam dua tradisi, yaitu lisan dan tulisan. Tidak diketahui
                                    penerjemah sastra ini, akan tetapi penyebarannya di kalangan orang Bugis dan
                                    orang Makassar di Sulawesi Selatan dimulai pada awal abad ke-17 dan berakhir
                                    menjelang Perang Dunia Kedua, karena pada saat itu muncul pula jenis pau-pau
                                    baru yang materinya merupakan hasil ramuan sendiri –bukan lagi terjemahan,
                                    misalnya  Pau-Paunna I Bungatanjong (Enre, 1999: 87). Penyebarannya tidak
                                    hanya di istana, melainkan juga tersebar secara meluas di masyarakat. Hal ini
                                    terlihat dengan bentuk versi lisannya yang secara meluas dikenal masyarakat.

                                    Versi lisan dari sastra saduran tersebut, hingga kini masih hidup di tengah-
                                    tengah orang Bugis Makassar, khususnya  di kampung-kampung. Biasanya,
                                    penyampaiannya dilakukan dengan cara yang sederhana, tanpa alat musik
                                    pengiring, dan dengan jumlah pendengar yang terbatas. Adapun versi tulisannya,
                                    biasa juga disebut dengan sureq (karya tulis yang bernilai sastra), masih dapat
                                    dijumpai di perpustakaan atau berupa koleksi pribadi. Teks pembuka versi tulisan
                                    ini pada umumnya dimulai dengan: Ianaé sureq poada-adaéngngi …, “Inilah
                                    kitab yang menceritakan…”. Tidak ada perbedaan yang menonjol mengenai
                                    komposisi cerita di antara kedua tradisi tersebut.


                                    Cerita rakyat saduran (hikayat) yang disebutkan di atas cukup populer di
                                    kalangan orang Bugis dan orang Makassar. Dikatakan populer karena selain
                                    dikenal luas di masyarakat lewat tradisi penyampaian lisan, juga naskah-
                                    naskahnya ditemukan dalam jumlah yang cukup banyak. Sambutan masyarakat
                                    yang cukup besar terhadap kehadiran sastra yang berasal dari Persia dan Melayu
                                    karena kehadirannya telah memukau dan membangkitkan gairah hidup baru
                                    di kalangan penulis Bugis (dan Makassar) sesuai dengan semangat zamannya,
                                    sehingga semua kegiatan bersastra yang pernah terhenti untuk sementara, dan
                                    segenap kemampuan yang ada seperti hendak dikerahkan untuk meindahkan
                                    semua jenis sastra ini ke dalam khasanah sastra Bugis dan Makassar (Enre, 1999:
                                    57). Kehadiran sastra saduran ini menandai era baru dalam penulisan sastra
                                    karena memunculkan tema-tema baru yang berkaitan kehidupan kerajaan,
                                    pengembaraan, kepemimpinan, kedudukan perempuan yang bernuansa Islam
                                    yang sebelumnya tidak dikenal dalam sastra Bugis dan sastra Makassar, seperti
                                    sastra La Galigo dan cerita rakyat lisan lainnya.








                    202
   211   212   213   214   215   216   217   218   219   220   221