Page 221 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 221

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







           Braginsky, 1994: 40-41). Kisah ini cukup populer di kalangan orang Bugis yang
           terlihat dengan jumlah salinan naskah-naskahnya yang telah dimikfilmkan tidak
           kurang sepuluh buah. Di samping itu, juga penyampaian cerita secara lisan juga
           masih berlangsung di tengah-tengah masyarakat.

           Kisah Saéhek Maradang bermula dari tokoh Saéhek Maradang belajar membaca
           Alquran dan mengkaji isinya, serta belajat ilmu pedang, sebagaimana terlihat
           teks awal cerita pada kutipan di bawah ini.

                Passaleng. Séuwa poada pannessaéengngi anakna arungngé Darulhasanati
                riasengnge Saehek Maradang. Nayi  [naia] nissenna baja rilaue nassuro
                pangajini anakna. Temmekki mangaji korang nassuro pangaji sara pesi
                anakna. Temmekni sarapekna nassuro pangaji nahawusi anakna…


                Pasal. Sebuah cerita yang mengisahkan seorang putra raja Darul Hasanati
                yang bernama I Saehek Maradang. Ketika dia masih kanak-kanak diajarilah
                mengaji Alqur’an. Setelah tamat dilanjutkan lagi mengaji sarak. Setelah
                tamat saraknya diajarikan lagi mengaji nahawu….

                (Hafid dan Muchlis Hadrawi, 1998b: 6, 58)


           Berdasarkan kutipan di atas, jelas bahwa jelas Saéheq Maradang pada tahap awal
           belajar mengaji dan mendalami Alquran. Hal ini berbeda dengan cerita dalam
           versi Melayu (lih. Braginsky, 1994: 154-155) yang menyebutkan Syah Mardan,
           putra raja sebuah negeri yang bernama Dar al-Khatan. Seorang brahmana yang
           arif dari negeri Dar al-Qiyam mendatangi negeri Dar al-Khatan, lalu mengajari
           Syah Mardan tentang kiat memindahkan nyawa dirinya ke berbagai jazad dan
           benda-benda. Sang brahmana mengajari juga Syah Mardan bahasa burung.


           Sang brahmana kemudian pamit pulang ke negerinya yang diantar oleh Syah
           Mardan. Akan tetapi, Syah Mardan tersesat seorang diri, lalu di tengah hutan
           bertemu dengan Putri Rakna Kemala Dewi yang sedang dikurung oleh jin raksasa.
           Syah Mardan menikahi Putri Rakna, tetapi tidak dapat membebaskannya dari
           kurungan jin raksasa karena ia bermaksud melanjutkan perjalanannya.


           Dari pengetahuan yang diperoleh dari barahmana tersebut yang digunakan
           oleh Syah Mardan menyamar sebagai burung nuri, terbang menuju ke negeri
           Dar al-Khiyam, lalu bertemu dengan Putri Siti Dewi (putri raja Dar al-Khiyam).
           Sang putri ini kemudian dinikahkan dengan Syah Mardan.

           Sementara itu, dalam Pau-Paunna Saéheq Maradang, ilmu membaca Alquran
           yang  diperolehnya  itu  tidak  cukup  untuk  menjadi  Islam.  Oleh  karena  itu,  ia
           bermaksud melakukan pencarian terhadap Islam yang belum diketahuinya
           (sappaq  i  anu  tekkulolongengngé).  Suatu  ketika,  Saéhek  Maradang  sedang






                                                                                                207
   216   217   218   219   220   221   222   223   224   225   226