Page 217 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 217

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







           Salah satu katagori sastra tentang pengembaraan yang cukup terkenal yang
           disebutkan di atas adalah  Sureq Bekku  (Hikayat Sultanul Ijilai). Cerita ini
           diterbitkan dalam bentuk cetakan (lih. Matthes, 1864) serta dijadikan bahan
           bacaan siswa SMP di Sulawesi Selatan pada tahun 80-an (lih. Chairan, 1984).
           Kisahnya  menceritakan  kehidupan  Sultanul  Injilai  beserta  keluarganya  yang
           kehilangan takhtanya, meninggalkan negerinya, serta bercerai-berai dengan
           keluarganya karena tidak mampu menggunakan akal pikirannya. Ceritanya
           bermula dari peristiwa Sultanul Injilai beserta keluarga mengunjungi ke kebunnya.
           Pada saat berjalan-jalan di kebunnya, tokoh ini melihat seekor tekukur yang
           bertengger di atas pohon ajuara (beringin). Ia lalu menangkap tekukur tersebut,
           dan bermaksud menyembelihnya. Sang tekukur memohon kepada Sultanul
           Injilai agar tidak menyembelihnya dengan alasan dagingnya terlalu sedikit dan
           tidak cukup disantap oleh Sultanul Injilai sekeluarga. Permohonan untuk dilepas
           dengan alasan daging tekukur hanya sedikit tidak menggoyahkan niat Sultanul
           Injilai untuk tetap menyembelih tekukur. Selanjutnya, tekukur menyampaikan
           Sultanul Injilai akan mendapatkan pahala dari Allah jika melepaskannya, tetapi
           penjelasannya itu tidak membuahkan hasil. Sang tekukur memohon kembali
           kepada Sultanul Injilai agar dilepaskan, dan bila dilepaskan ia akan melompat ke
           atas dahan pohon ajuara, lalu menyampaikan tiga pesan. Sang tekukur berhasil,
           lalu Sultanul Injilai melepaskannya.

           Setelah melompat ke dahan yang paling redah pohon  ajuara itu, tekukur
           menyampaikan  pesan  kepada  Sultanul  Injilai,  “Jika  ada  sebuah  berita  atau
           pembicaraan, yang masuk akal saja yang dipercaya.” Setelah menyampaikan
           pesan yang pertama, tekukur melompat naik ke dahan yang di tengah, lalu
           menyampaikan  pesan,  “Jangan  menyesali  perbuatan  yang  telah  berlalu.”
           Selanjutnya, tekukur melompat ke atas dahan yang tertinggi, lalu menyampaikan
           pesan kepada Sultanul Injilai, “Di dalam perutku terdapat tiga buah permata
           intan sebanyak tiga biji yang besarnya sama dengan telur itik.”


           Setelah mendengarkan bunyi pesan ketiga, Sultanul Injilai tanpa pikir, langsung
           memburu tekukur  hingga ke dalam  hutan. Ia  bernafsu menangkap kembali
           tekukur untuk mendapatkan tiga buah permata intan di dalam perut tekukur.
           Di sinilah awal kejatuhan Sultanul Injilai, yang telah bertindak tanpa menyimak
           pesan pertama dan pesan kedua tekukur. Jika kedua pesan terdahulu didengarkan
           dan dijalankan dengan baik, maka Sultanul Injilai tidak perlu memburu tekukur
           ketika mendengar berita keberadaan tiga butir permata intan tersebut.

           Peristiwa yang dialami oleh Sultanul Injilai dengan burung tekukur tersiar ke
           seluruh penjuru negeri. Rakyat negeri itu kemudian memecat Sultan sebagai
           raja. Sultanul Injilai dan keluarga lalu meninggalkan negerinya dengan tanpa
           tujuan yang jelas. Dalam perjalanan tersebut, Abdul Julali melihat anak burung
           tekukur dalam sarang di sebuah dahan pohon, dan muncul keinginan untuk
           mengambilnya sebagai mainan. Oleh karena sang anak terus merengek, maka
           Sultanul Injilai memanjat pohon, lalu mengambil anak burung tekukur dari





                                                                                                203
   212   213   214   215   216   217   218   219   220   221   222