Page 222 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 222
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
berada di hutan, ia tiba-tiba tersesat (riwéreang amalingeng). Di dalam hutan,
Saéheq Maradang bertemu dengan Putri Kumala, Datu Déwataé (versi Melayu,
Putri Rakna Kemala Dewi) yang sedang dikurung oleh orosasaé (jin raksasa).
Saéheq Maradang menikahi Putri Kumala, tetapi tidak dapat membebaskan
istrinya karena ia melanjutkan perjalanan. Saéheq Maradang mencari sesuatu
yang belum diketahuinya (sappa i anu tekkuissengngé pa). Di sinilah Saéheq
Maradang merubah wujudnya menjadi seeekor burung nuri. Terbanglah burung
nuri tersebut menuju ke negeri Darulkiyami (versi Melayu Dar al-Kiyam), dan
hinggap di istana Puteri Sitti Dewi (putri raja Dar al-Khiyam). Saéheq Maradang
kemudian dinikahkan dengan Puteri Sitti Dewi.
Kedua pernikahan Saéheq Maradang, memperlihatkan dua jenjang perjalanan
sufistik, yaitu tahap syariat dan tahap tarikat. Perkawinannya dengan Putri
Kumala menunjukkan tahap syariat. Selanjutnya pernikahannya dengan
Puteri Sitti Dewi memasuki tahap tarikat. Tahap ini disimbolkan dengan lewat
perubahan wujud menjadi burung nuri, atau roh dimasukkan ke dalam jazad
burung nuri.
Kedua pernikahan
Saéheq Maradang, Saéhek Maradang kemudian melanjutkan perjalanannya menuju ke arah
memperlihatkan dua matahari terbenam (mangolo ri labu kessoé), dan mengganti namanya menjadi
jenjang perjalanan su- I Darejaya. Dalam perjalanan ini, Saéheq Maradang bertemu dengan Saéhek
fistik, yaitu tahap syar- Salamuddini, lalu kepada sufi itu ia belajar shalawat dan sikap seorang muslim
iat dan tahap tarikat. (gauqna asellengengngé iya sokkuqé), persyaratan menjadi wali (saraqna
Perkawinannya dengan
Putri Kumala menun- awallingngé).
jukkan tahap syariat.
Selanjutnya pernikah- Setelah mendapatkan sejumlah pengetahuan tentang Islam dari Saéheq
annya dengan Puteri Salamuddini, Saéheq Maradang melanjutkan perjalanan. Setelah beberapa
Sitti Dewi memasuki lama berjalan melewati lembah dan gunung. Saéheq Maradang menemukan
tahap tarikat. Tahap ini
disimbolkan dengan rumah pada sebuah gunung. Pemilik rumah itu adalah seorang sufi terkenal,
lewat perubahan wujud yaitu Lukmanul Hakim. Kepada sufi inilah I Darejaya (Saéheq Maradang) belajar
menjadi burung nuri, hakikat dan makrifat.
atau roh dimasukkan
ke dalam jazad burung
nuri. Jika diperhatikan cerita Saéheq Maradang, isinya terdiri atas dua bagian. Bagian
yang pertama berisi narasi perjalanan dan pengembaraan Saéhek Maradang
dan dialog-doalog antara Saéheq Maradang dengan sufi-sufi yang dijumpainya,
serta percakapan Saéheq Maradang dengan istri-istrinya. Dengan penyajian ini
menunjukkan Pau-Paunna Saéheq Maradang sebagai alegori sufi. Hal ini sejalan
dengan yang dikatakan Braginsky (1993: 151) bahwa bagian hikayat yang
bersifat naratif sebenarnya merupakan alegori sufi.
Alegori sufi yang kedua yang dibicarakan di sini adalah Pau-Paunna Sitti
Rabiatule Awaliya (Hikayat Siti Rabiatul Awaliyah). Tokoh Sitti Rabiatule Awalia
dikenal sebagi seorang sufi perempuan yang memiliki pengetahuan keislaman
yang tinggi. Kisah Rabiatul Awalia yang ditemukan berbahasa Bugis yang telah
diterjemahkan dan ditransliterasi oleh Hafid dan Muchlis Hadrawi (1998), yang
208