Page 532 - SKI jld 3 pengantar menteri Revisi Assalam
P. 532

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 3







                                    anggota  secara  mingguan.  Perhimpunan  ini  kemudian  menjadi  Persarikatan
                                                                                   15
               Hayatuh al-Qulub     Ulama yang didirikan oleh Hadji Abdul Halim.  Hayatuh al-Qulub adalah
             adalah organisasi yang   organisasi yang didirikan Hadji Abdul Halim untuk fokus pada ekonomi dan
             didirikan Hadji Abdul
              Halim untuk fokus     pendidikan. Iuran dari anggotanya, pedagang dan petani, sekitar 5 sen setiap
              pada ekonomi dan      minggu diperuntukkan untuk membantu usaha penenunan sebagai respon
             pendidikan. Iuran dari   terhadap bisnis Cina. Pada tahun 1915 Hayah al-Qulub dilarang dan dibubarkan
            anggotanya, pedagang                 16
              dan petani, sekitar   oleh Belanda.  Pergerakan ini hanya terbatas di Jawa Barat, Tegal dan Sumatra
                                            17
              5 sen setiap minggu   Selatan.  Di Bandung pada 1923 berdiri Persis dengan bantuan pedagang dari
             diperuntukkan untuk    Sumatra yaitu Haji Zamzam dan Haji Muhammad Junus dan kemudian Ahmad
               membantu usaha
              penenunan sebagai     Hasan, asal Tamil lahir di Singapura pada 1887. Selain itu Muhammad Natsir
             respon terhadap bisnis   juga bergabung yang kemudian menjadi tokoh Masjumi. 18
                    Cina.
                                    Pada tahun 1911 berdiri Sarekat Dagang Islam oleh Haji Samanhoedhi sebagai
                                    respon terhadap ekspansi dan dominasi perdagangan batik Cina. Pendirian
                                    perhimpunan bertujuan: pertama, persaingan usaha batik dengan Cina dan
                                    superioritasnya  terhadap pribumi berkat keberhasilan Revolusi  Cina tahun
                                    1911 dan tekanan yang dialami oleh masyarakat dari kelompok bangsawan
                                         19
                                    Solo.  SDI juga bertujuan untuk memperkuat pengusaha lokal dan menentang
                                    gaya feodal yang dipraktekkan para pejabat pemerintah pada masa kolonial
                                    Belanda.  Di samping itu, asosiasi ini juga berupaya menyatukan semua
                                            20
                                    pedagang dan pengusaha Muslim lokal tanpa membedakan suku. Kegiatan
                                    bisnis SDI di Batavia, yaitu penyewaan hotel dan toko perdagangan, hasilnya
                                    digunakan untuk membiyai sekolah dan masyarakat. Di Surabaya, usaha SDI
                                    juga serupa, yaitu pengumpulan dana dari anggota dikembangkan menjadi
                                    koperasi yang menjual makanan pokok dan barang-barang murah. Pada tahun
                                    1913, SDI telah memiliki 10 pusat perdagangan. 21

                                    Organisasi ini kemudian berubah menjadi Sarekat Islam dan akhirnya menjadi
                                    Partai Sarekat Islam. Berbeda dengan Muhammadiyah yang berdiri setahun
                                    kemudian (1912) oleh Ki Ahmad Dahlan dengan menfokuskan pada kegiatan
                                    sosial, pendidikan dan dakwah dengan landasan ideologi pembaruan Islam,
                                    Sarekat Islam lambat laun melemah terutama setelah tahun 1927. Hal ini
                                    diakibatkan  oleh  konflik  kepentingan  politik  dan  perdebatan ideologi di
              SDI juga bertujuan    dalamnya.  Seperti  halnya  SDI,  Sarekat  Islam  juga  bertujuan  untuk  melawan
              untuk memperkuat      ketidakadilan pemeritah kolonial, terutama dalam hal ekonomi dan politik.
             pengusaha lokal dan    Para  anggota  asosiasi  ini  mencakup  guru,  pengusaha  batik,  tentara,  petani,
            menentang gaya feodal
            yang dipraktekkan para   priyayi, pegawai bank, penjual kopi, sekretaris pemerintahan dan pegawai
              pejabat pemerintah    negara. Disebutkan bahwa tahun 1919 anggotanya  mencapai 2 juta orang.
              pada masa kolonial    Permasalahan kemampuan manajemen menjadi kendala utama pengembangan
              Belanda. Di samping
              itu, asosiasi ini juga   lembaga ini yang berakibat melemahnya organisasi. Bahkan pada tahun 1930,
             berupaya menyatukan    anggotanya tinggal tersisa 50.000 orang. 22
               semua pedagang
                dan pengusaha
              Muslim lokal tanpa    Persaingan tekstil dan pertenunan dengan Cina sangat kuat terutama dalam
              membedakan suku.      hal akses mulai dari bahan mentah hingga penguasaan pasar. Di Pekalongan,
                                    pengusaha pribumi dari Jawa dan Sumatra menguasai pasar batik yang





                    516
   527   528   529   530   531   532   533   534   535   536   537