Page 22 - Kelas XI_Sejarah Indonesia_KD 3.6
P. 22
22
mengundang Radin Inten II untuk mengadakan pertemuan. Dikatakannya
bahwa ia ingin membicarakan bantuan yang diberikannya kepada Radin
Inten II. Tanpa curiga, Radin Inten II memenuhi undangan itu. Pertemuan
diadakan malam tanggal 5 Oktober 1856 di suatu tempat dekat Kunyanya.
Radin Inten II ditemani oleh satu orang pengikutnya. Radin Ngerapat
disertai pula oleh beberapa orang. Akan tetapi, di tempat yang cukup
tersembunyi, beberapa orang serdadu Belanda sudah disiapkan untuk
bertindak bila diperlukan. Radin Ngerapat mempersilahkan Radin Inten II
dan pengiringnya memakan makanan yang sengaja dibawanya terlebih
dahulu.
Pada saat Radin Inten menyantap makanan tersebut, secara tiba-tiba
ia diserang oleh Radin Ngerapat dan anak buahnya. Perkelahian yang
tidak seimbang pun terjadi. Serdadu Belanda keluar dari tempat
persembunyiannya dan ikut mengeroyok Radin Inten II. Radin Inten II
wafat dalam perkelahian itu karena pengkhianatan yang dilakukan oleh
orang sebangsanya dalam usia sangat muda, 22 tahun. Malam itu juga
mayatnya yang masih berlumuran darah diperlihatkan kepada Kolonel
Welson. Pada tahun 1986 Pemerintah Republik Indonesia
menganugerahinya gelar pahlawan nasional (Surat Keputusan Presiden
Republik Indonesia No. 082 Tahun 1986 tanggal 23 Oktober 1986).
6. Sultan Ageng Tirtayasa (Banten)
Sultan Ageng Tirtayasa atau Pangeran Surya (Lahir di
Kesultanan Banten, 1631 – meninggal di Batavia, Hindia Belanda, 1692
pada umur 60 - 61 tahun) adalah Sultan Banten ke-6. Ia naik takhta pada
usia 20 tahun menggantikan kakeknya, Sultan Abdul Mafakhir yang wafat
pada tanggal 10 Maret 1651, setelah sebelumnya ia diangkat menjadi
Sultan Muda dengan gelar Pangeran Adipati atau Pangeran Dipati,
menggantikan ayahnya yang wafat lebih dulu pada tahun 1650.
Sultan Ageng Tirtayasa adalah putra dari Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad
(Sultan Banten periode 1640-1650) dan Ratu Martakusuma. Sejak kecil ia
bergelar Pangeran Surya, kemudian ketika ayahnya wafat, ia diangkat
menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Dipati. Setelah kakeknya
meninggal dunia pada tanggal 10 Maret 1651, ia diangkat sebagai Sultan
Banten ke-6 dengan gelar Sultan Abu al-Fath Abdulfattah.
Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton
baru di dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang).
Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada
periode 1651 - 1683. Ia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda.
Masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang
merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Tirtayasa menolak perjanjian ini
dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka. Saat itu, Sultan
Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam
terbesar.
Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan
rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi.
Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan
dan penasehat sultan.
Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan
Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur dengan cara bersekutu dengan
Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa
mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda