Page 28 - Kelas XI_Sejarah Indonesia_KD 3.6
P. 28

28



                            Pada   pertengahan   bulan  Mei  1825,   Smissaert   memutuskan   untuk
                       memperbaiki jalan-jalan kecil di sekitar Yogyakarta. Namun, pembangunan
                       jalan   yang   awalnya   dari  Yogyakarta  ke  Magelang  melewati  Muntilan
                       dibelokkan   melewati   pagar   sebelah   timur   Tegalrejo.   Pada   salah   satu
                       sektor, patok-patok jalan yang dipasang orang-orang kepatihan melintasi
                       makam leluhur Pangeran Diponegoro. Patih Danurejo tidak memberitahu
                       keputusan   Smissaert   sehingga   Diponegoro   baru   mengetahui   setelah
                       patok-patok dipasang. Perseteruan terjadi antara para petani penggarap
                       lahan dengan anak buah Patih Danurejo sehingga memuncak di bulan Juli.
                       Patok-patok   yang   telah   dicabut   kembali   dipasang   sehingga   Pangeran
                       Diponegoro   menyuruh   mengganti   patok-patok   dengan   tombak   sebagai
                       pernyataan perang.
                            Pada   hari   Rabu,  20   Juli  1825,   pihak   istana   mengutus   dua   bupati
                       keraton senior yang memimpin pasukan Jawa-Belanda untuk menangkap
                       Pangeran   Diponegoro   dan   Mangkubumi   di   Tegalrejo   sebelum   perang
                       pecah. Meskipun kediaman Diponegoro jatuh dan dibakar, pangeran dan
                       sebagian besar pengikutnya berhasil lolos karena lebih mengenal medan
                       di   Tegalrejo.   Pangeran   Diponegoro   beserta   keluarga   dan   pasukannya
                       bergerak   ke   barat   hingga   Desa   Dekso   di   Kabupaten   Kulonprogo,   dan
                       meneruskan ke arah selatan hingga keesokan harinya tiba di Goa Selarong
                       yang   terletak   lima   kilometer   arah   barat   dari   Kota   Bantul.   Pangeran
                       Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak
                       di   Dusun   Kentolan   Lor,   Guwosari   Pajangan   Bantul,   sebagai   basisnya.
                       Pangeran menempati goa sebelah barat yang disebut Goa Kakung, yang
                       juga menjadi tempat pertapaannya, sedangkan Raden Ayu Retnaningsih
                       (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat)
                       dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.
                            Penyerangan   di   Tegalrejo   memulai   perang   Diponegoro   yang
                       berlangsung selama lima tahun. Diponegoro memimpin masyarakat Jawa,
                       dari kalangan petani hingga golongan priyayi yang menyumbangkan uang
                       dan   barang-barang   berharga   lainnya   sebagai   dana   perang,   dengan
                       semangat   "Sadumuk   bathuk,   sanyari   bumi   ditohi   tekan   pati";   "sejari
                       kepala   sejengkal   tanah   dibela   sampai   mati".   Sebanyak   15   dari   19
                       pangeran   bergabung   dengan  Diponegoro.   Bahkan   Diponegoro   juga
                       berhasil memobilisasi para bandit profesional yang sebelumnya ditakuti
                       oleh penduduk pedesaan, meskipun hal ini menjadi kontroversi tersendiri.
                       Perjuangan Diponegoro dibantu  Kyai Mojo  yang juga menjadi pemimpin
                       spiritual   pemberontakan.   Dalam   perang   jawa   ini   Pangeran   Diponegoro
                       juga   berkoordinasi   dengan   I.S.K.S.   Pakubowono   VI   serta   Raden
                       Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.
                            Bagi   Diponegoro   dan   para   pengikutinya,   perang   ini   merupakan
                       perang jihad melawan Belanda dan orang Jawa murtad. Sebagai seorang
                       muslim yang saleh, Diponegoro merasa tidak senang terhadap religiusitas
                       yang kendur di istana Yogyakarta akibat pengaruh masuknya Belanda,
                       disamping   kebijakan-kebijakan   pro-Belanda   yang   dikeluarkan   istana.
                       Infiltrasi   pihak   Belanda   di   istana   telah   membuat   Keraton   Yogyakarta
                       seperti rumah bordil. Di lain pihak, Smissaert menulis bahwa Pangeran
                       Diponegoro semakin lama semakin hanyut dalam fanatisme dan banyak
                       anggota kerajaan yang menganggapnya kolot dalam beragama.
                            Dalam laporannya, Letnan Jean Nicolaas de Thierry menggambarkan
                       Pangeran Diponegoro mengenakan busana bergaya Arab dan serban yang
                       seluruhnya berwarna putih. Busana tersebut juga dikenakan oleh pasukan
                       Diponegoro dan dianggap lebih penting dibandingkan busana adat Jawa
                       meskipun perang telah berakhir. Laporan Paulus Daniel Portier, seorang
   23   24   25   26   27   28   29   30   31   32   33