Page 138 - Final Sejarah Wilayah Perbatasan
P. 138
4. Sultan mengizinkan pemerintah menghukum warganya yang bersalah terlibat
dalam perompakan dan untuk menanggulanginya pemerintah mengerahkan
dua perahu jelajah dan dua perahu milik Raja Muda yang dioperasikan di bawah
kewenangan residen.
5. Para kepala pulau yang disebut pada Pasal 5 kesepakatan bulan Juli 1836 akan
menikmati penghasilan sebesar f 150 per bulan, yang diterima oleh residen dan
Raja Muda.
6. Tanpa pembebasan dari cukai impor atas 2500 pikul gambir, kepada sultan
akan dibayarkan tunjangan f 20.000 per tahun selain f 14.400 per tahun yang
diperuntukkan sebagai gaji dari para kepala tersebut.
7. Pemakaian apilan (lapisan balok ganda yang ruangannya diisi dengan anyaman
rotan) dilarang kecuali pada perahu milik sultan atau Raja Muda.
8. Pemerintah memiliki kewenangan menempatkan mata-mata, untuk mendapatkan
informasi sehubungan dengan perompakan dan sultan wajib untuk melindungi
mata-mata ini (E. Netscher, 1854. TNI, jilid 2, hlm. 266—279 ).
Sebagai akibat campur tangan pemerintah Belanda ini, dalam waktu satu tahun kira-
kira 400 orang dibebaskan kembali termasuk 100-an orang warga Inggris dari India.
Sementara itu, tidak seorang pun warga yang ditangkap pemerintah Inggris di India.
Pengorbanan berupa pengeluaran keuangan besar sebagai akibat dari tindakan
tersebut bagi pemerintah Hindia Belanda adalah berkurangnya perompakan di
perairan Lingga, terutama melindungi kemungkinan kerugian besar perdagangan di
Singapura. Fakta ini menjadi jawaban terbaik atas beberapa pertanyaan orang Inggris
yang menuduh bahwa pemerintah Belanda tidak banyak berperan untuk melindungi
para pedagang dan dianggap patuh terhadap ancaman perompakan. Sejak tahun
1837, perompakan di Kepulauan Lingga berkurang drastis walaupun belum habis
sama sekali sehingga perdagangan tidak lagi terhambat.
Suksesi dalam Kerajaan
Pada 1839 Residen Goldman digantikan oleh A.L. Andriesse. Pada 20 Juli 1841 Sultan
Riau, Lingga Mohamad Syah, wafat dalam usia 81 tahun. Beberapa tahun sebelum
wafat, ia mengangkat putranya yang berusia 18 tahun sebagai ahli waris takhta dan
menyerahkan semua urusan pemerintahan kepadanya tanpa memberitahukan
kepada pemerintah. Setelah kematian ayahnya, raja yang masih muda ini dipanggil
Raja Muda sesuai dengan kebiasaan dan pengangkatannya diumumkan kepada
penduduk. Ia menerima pengangkatannya dengan nama Sultan Mahmud Mudafar
Syah dan pada 28 Maret 1842 mengambil sumpah setia kepada pemerintah Belanda
dan menerima kontrak pada 29 Oktober 1830 dari tangan Residen Riau.
Pada 17 Juni 1844 setelah sakit demam sebentar, Raja Muda Riau, Abdul Rahman,
meninggal dalam usia 35 atau 36 tahun. Raja Muda ini mengikuti contoh ayahnya
Raja Jafar dalam menunjukkan kesetiaan kepada pemerintah dan sejauh mungkin
bekerja sama untuk mencegah pelanggaran oleh Raja Muda. Sultan tidak terburu-
Mutiara di Ujung Utara 121