Page 47 - MODUL 3
P. 47
2) Perlawanan rakyat Aceh
Perlawanan gigih terhadap penjajahan Belanda juga dilakukan oleh rakyat Aceh dalam
perang Aceh. Perang ini berlangsung pada tahun 1873–1912. Perang Aceh terjadi karena
keinginan pemerintah kolonial untuk menguasai seluruh wilayah Nusantara. Rakyat Aceh
tidak menginginkan daerah mereka diduduki oleh penjajah. Mereka memiliki kebanggaan atas
kerajaan mereka yang telah berdiri sejak berabad-abad lalu. Terutama, pada zaman kejayaan
Sultan Iskandar Muda (1607–1636) yang tetap berdiri pada abad ke-18 dan 19 sampai abad
ke-20.
Penyebab terjadinya Perang Aceh, antara lain
karena pemerintah kolonial ingin menguasai
Aceh sebagai kerajaan yang kuat dan memiliki
kemampuan diplomatik tinggi. Pemerintah
kolonial melihat bahwa Traktat London tahun
1824 dan Traktat Sumatra tahun 1871 yang
ditandatangani antara Belanda dan Inggris
telah memberi kedudukan yang kuat pada
Aceh. Oleh karena itu, dapat menjadi ancaman
bagi kedudukan pemerintah Hindia–Belanda.
Kekhawatiran tersebut terbukti setelah Aceh Gambar peerjuangan rakyat aceh melawan penjajah belanda
mampu menjalin hubungan diplomatik dengan
banyak negara. Hal itu mulai mencemaskan Belanda. Belanda merasa takut disaingi dan mulai
menuntut Aceh untuk mengakui kedaulatan Belanda di Nusantara.
Penolakan rakyat Aceh terhadap tuntutan Belanda mendorong Belanda untuk mengirimkan
pasukannya ke Kutaraja, ibu kota Kerajaan Aceh pada bulan April 1873. Namun, usaha untuk
menguasai Aceh mengalami kegagalan. Bahkan Mayor Jenderal Kohler, pemimpin pasukan
Belanda tewas di depan Masjid Raya Aceh. Demikian juga serangan pada bulan Desember
1873 dapat dipatahkan oleh rakyat Aceh. Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Letnan Jenderal
van Swieten hanya berhasil merebut istana Kerajaan Aceh dan tidak dapat menguasai seluruh
Aceh. Perlawanan rakyat Aceh terus berlangsung, walaupun istana kesultanan di Kutaraja
direbut oleh Belanda.
Melihat gigihnya perlawanan rakyat Aceh, Belanda mengubah strategi perang dengan
pendekatan sosial budaya. Caranya dengan mengirimkan Snouck Hurgronje, seorang ahli
kajian Islam untuk menyelidiki masyarakat Aceh dan memberi masukan kepada pemerintah
kolonial tentang strategi menguasai rakyat Aceh. Hurgronje menyarankan agar pemerintah
kolonial memahami karakter masyarakat Aceh sambil melakukan serangan kepada para
pemimpin Aceh.
3) Perlawanan rakyat Bali
Di Bali, perlawanan rakyat untuk mengusir Belanda dari daerahnya dikenal dengan Perang
Puputan. Perang tersebut ditandai dengan pengorbanan yang luar biasa dari seluruh rakyat
yang cinta daerahnya, baik pengorbanan nyawa maupun materi. Perang Puputan dilakukan
olah rakyat Bali demi mempertahankan daerah mereka dari pendudukan pemerintah kolonial
Belanda. Rakyat Bali tidak ingin Kerajaan Klungkung yang telah berdiri sejak abad ke-9 dan
telah mengadakan perjanjian dengan Belanda tahun 1841 di bawah pemerintahan Raja Dewa
Agung Putra diduduki oleh Belanda. Sikap pantang menyerah rakyat Bali dijadikan alasan oleh
pemerintah Belanda untuk menyerang Bali.
Pada tahun 1844, perahu dagang milik Belanda terdampar di Prancak, wilayah Kerajaan
Buleleng dan terkena Hukum Tawan Karang. Hukum tersebut memberi hak kepada penguasa
kerajaan untuk menguasai kapal yang terdampar beserta isinya. Dengan kejadian itu, Belanda
memiliki alasan kuat untuk melakukan serangan ke Kerajaan Buleleng pada tahun 1848.
Namun, rakyat Buleleng dapat menangkis serangan tersebut. Akan tetapi, pada serangan
yang kedua pada 1849, pasukan Belanda yang dipimpin Jenderal Mayor A.V. Michies dan van
Swieeten berhasil merebut benteng pertahanan terakhir Kerajaan Buleleng di Jagaraga.
Modul Ilmu Pengetahuan Sosial VIII SMP/MTs Semester Genap (Kurikulum 2013) 41