Page 163 - PENGAYAAN MATERI SEJARAH
P. 163
dan pada awal 1949 ia diangkat menjadi ketua BFO. Dari sudut
politik, blok Hamid dan Mansur mengacu pada konsep federalisme
sesuai gagasan Van Mook.
Sebaliknya penafsiran federalisme Anak Agung bertentangan
dengan tafsir Van Mook. Anak Agung senatiasa mencita -citakan
adanya kerjasama yang erat dengan pemerintah RI, sehingga antara
pemerintah RI dan NIT dapat terwujud suatu perpaduan pendapat dan
dapat tercipta suatu front nasional yang kuat yang tidak dapat dipecah
pecah oleh pihak ketiga, Bagi Anak Agung, BFO adalah alat untuk
mewujudkan cita=citanya, oleh karena itu jika platform van Mook
dikenal sebagai sintesa saja, maka platform Anak Agung dikenal
sebagai Sintesa nasional. Keduanya jelas tidak dapat dipadu, Van Mook
menginginkan federalisme yang dominan bagi orang Belanda dan Anak
Agung mencita citakan federalisme yang didominasi orang Indonesia. 40
2.1.6. Dari Konferensi Inter Indonesia Menuju KMB
Keberhasilan mengatasi rintangan yang muncul dalam internal
BFO, maka BFO bisa melangkah maju menuju pada tujuan yang telah
digariskan oleh Ide Anak Agung Gde Agung, yakni mencapai sintesa
nasional. Hal ini berarti perpaduan antara negara-negara dan daerah-
daerah otonom dalam BFO dengan RI untuk merancang suatu Indonesia
baru dimana semua pihak mendapat tempat yang layak melalui sistem
federalisme. Sementara itu, Belanda sesuai dengan kesepakatan –
kesepakatan Roem-Royen mulai menarik pasukannya dari Yogyakarta
agar para pemimpin dapat kembali ke ibukota RI. Pada 10 Juni 1949,
komandan pasukan Belanda menyerahkan kekuasaan atas wilayah
Yogyakarta pada Sultan Hamengkubuwono IX. Baru pada 6 Juli para
pemimpin RI kembali ke Yogyakarta yang disambut rakyat dan dielu
elukan. Bagi BFO, hari yang gembira itu menandaskan berakhirnya satu
tahapan dalam perjuangan memepertahankan Kemerdekaan RI denga
wilayah yang seutuhnya.
Sejak kunjungan Anak Agung ke tempat pengasingan Sukarno di
Bangka, ia menjajaki kemungkinan-kemungkinan mewujudkan suatu
sintesa nasional antara BFO dan RI. Dalam kunjungannya pada 7
Februari 1949 tersebut, yang hanya dihadiri Presiden Sukarno telah
menyinggung juga kemungkinan BFO dan RI bertemu untuk menyusun
strategi bersama sebelum menuju ke KMB. Gagasan ini kemudian
dibicarakan dengan Hatta dalam kunjungannya pada 2 Maret 1949.
151