Page 279 - PENGAYAAN MATERI SEJARAH
P. 279
menyakinkan masyarakat bahwa iamasih mampu
mengendalikan dan melakukan kontrol terhadap kekuatan
politik dan Angkatan Bersenjata. Pidato Presiden pada sidang
ini, dicatat sebagai pidato yang kontroversial. Presiden
Soekarno masih menganggap revolusi lebih agung
dibandingkan dengan terbunuhnya para Jenderal pimpinan
Angkatan Darat yang peristiwa itu dianggap sebagai “een
rimpeltje in de oceaan” yang artinya riak-riak kecil dalam
“samudra” revolusi Indonesia. Sejak itu hubungan batin
antara Presiden dan pimpinan Angkatan Darat merenggang.
Mereka mulai bersikap kritis dan waspada terhadap
kecenderungan sikap politik Soekarno. Angkatan Darat
membangun opini publik baru, yang Soekarno dianggap
sebagai pemimpin yang gagal total. Ajaran Revolusinya tidak
patut dipercaya lagi. Sejak kebijakannya mengangkat Mayor
Jenderal Pranoto pada 1 Oktober 1965 sebagai caretaker
Menteri/Panglima Angkatan Darat yang kemudian ditolak
oleh Mayor Jenderal Soeharto, merupakan petunjuk kuat
bahwa Presiden Soekarno telah kehilangan kekuasaannya.
Akibat kematian Yani dan para perwira tinggi itu,
solidaritas korps di Angkatan Darat semakin menguat, yang
tidak pernah diperhitungkan sebelumnya oleh Soekarno dan
PKI. Kecurigaan terhadap setiap langkah politik Soekarno
menguat. Presiden kemudian membentuk fact finding
commission (komisi pencari fakta) yang dipimpin oleh Mayor
Jenderal Dr. Soemarno Sosroatmodjo Menteri Dalam Negeri.
Komisi ini bertugas mengumpulkan bukti dan melaporkan
jumlah korban yang terbunuh pasca kudeta.
Sementara itu TNI Angkatan Darat melakukan
kampanye penerangan secara terencana dan terorganisasi
melalui surat kabar Berita Yudha dan Buletin Pemberitaan
Angkatan Bersendjata, dikoordinasikan oleh Satuan Tugas
Penerangan.
Kampanye penerangan, sasarannya untuk mengubah
opini publik dan melunturkan pengaruh dan pujaan pribadi
Soekarno, juga untuk meruntuhkan moril pendukung
Soekarno. Kampanye penerangan ini bersamaan dengan aksi-
267