Page 106 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 106

HUBUNGAN INDONESIA DAN JEPANG DALAM LINTASAN SEJARAH




                    "....Didorong  oleh  pemerintah  kolonial  untuk  berpikir  bahwa  mereka
                    terpisah  dari  mayoritas  orang  Indonesia,  didorong  oleh  pemerintah
                    Tiongkok supaya berpikir sebagai warga Tiongkok, dan dipengaruhi secara
                    historis  oleh  pengalaman  yang  berlainan,  pada  akhirnya  komunitas-
                    komunitas Tionghoa di Indonesia tidak pernah bisa bersatu".
                                                                     25

            Golongan Tionghoa dan Perang Tiongkok-Jepang (1937-1942)

            Konflik  Tiongkok-Jepang  yang  memanas  mendapatkan  perhatian  yang  besar  dari
                                         26
            golongan  Tionghoa  di  Indonesia.  Agresi  Jepang  ke  Tiongkok  semakin  agresif
            dengan terjadinya “Insiden Jembatan Marco Polo” (Juli 1937) sekaligus menandai
            bermulanya  Perang  Tiongkok-Jepang  II  (1937-1945).  Perbedaan  pendapat
            dikalangan  elite  pimpinan  Kuomintang  soal  penyelesaian  konflik  dengan  Jepang
            membawa  perpecahan  antara  kubu  Presiden  Chiang  Kai-shek  dengan  saingan
            terdekatnya,  Wang  Ching-wei.  Chiang  yang  berkedudukan  di  Chungking  memilih
            melanjutkan  perlawanan  bersenjata,  namun  Wang  memilih  negosiasi  damai
            dengan Jepang. Di bulan Maret 1940 Wang resmi menjadi kepala “negara boneka”
            Jepang,  yang  disebut  rezim  “Pemerintah  Nasional  Baru”  yang  berkedudukan  di
            Nanking.
                    Senjata utama yang digunakan oleh kaum Tionghoa Perantauan melawan
            Jepang adalah pemboikotan barang-barang Jepang, namun usaha ini relatif hanya
            sedikit  membawa  hasil.  Secara  umum,  kaum  totok—khususnya  etnis  Kwangtung
            (Kanton)  bersikap  lebih  patriotis  daripada  kaum  peranakan.  Golongan  Kanton
            kebanyakan adalah pekerja kelas bawah dan 40% di antara mereka adalah kaum
            totok (kelahiran Tiongkok). Kelompok ini cukup dominan dalam bidang jurnalisme
            dan pendidikan, maka tidaklah mengherankan bahwa mereka amat peka terhadap
            perkembangan  politik  di  Tiongkok.  Di  daerah-daerah  konsentrasi  kaum  Kanton,
            seperti  di  Pontianak  (Kalimantan)  dan  Tanjung  Balai  (Sumatra)  semangat
                                                27
            patriotisme terhadap Tiongkok amat tinggi.
                    Dalam  menyebarluaskan  ide-ide  anti-Jepang,  pers  Tionghoa—baik  yang
            berbahasa  Melayu  ataupun  Tionghoa—memegang  peranan  penting.  Pemerintah
            Hindia  Belanda  yang  merasa  bahwa  konflik  bilateral  tersebut  bukan  urusannya,
            karena itu berusaha memegang teguh asas netralitas, sehingga mereka mengawasi
                                                                           28
            dengan ketat tulisan-tulisan dalam pers Tionghoa yang bernada anti Jepang.  Dari
            tahun  1938  hingga  awal  1940  tercatat  sekitar  20  pembredelan  terhadap  koran
                                       29
            Tionghoa  dan  Melayu-Tionghoa.  Sedemikian menganggunya  tulisan-tulisan  anti-
            Jepang  di  media  massa  Tionghoa,  sehingga  pada  Konferensi  Bilateral  Hindia


                                                97
   101   102   103   104   105   106   107   108   109   110   111