Page 109 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 109
DINAMIKA DALAM KEBERAGAMAN:
JEPANG, ETNIK TIONGHOA DAN PRIBUMI (1942-1945)
Puncak kekerasan adalah terbunuhnya orang-orang Tionghoa di masa
vakum tersebut. Bekasi yang merupakan daerah tanah partikelir (milik tuan tanah
Tionghoa) mengalami aksi anti Tionghoa yang cukup hebat. Beberapa pemimpin
Tionghoa, tuan tanah dan kaki tangannya tewas dibunuh di daerah ini. Di
Karesidenan Pekalongan, daerah yang nuansa keislamannya cukup kuat, dilaporkan
22 orang Tionghoa dibunuh. Dari Jombang dilaporkan beberapa pemilik toko ikut
dibunuh. Di Pidi (Aceh) beberapa orang Tionghoa tewas dibunuh, termasuk
45
seorang pimpinan golongan Tionghoa. Di Jawa Barat orang Tionghoa “membeli
keamanan” dengan jalan yang cukup ironis, yakni membayar perampok untuk
menjaga harta bendanya dari penjarahan massa.
46
Aksi kekerasan lainnya dilakukan oleh segolongan nasionalis, yang
menganggap Jepang sebagai “pembebas”. Di berbagai daerah (Solo, Magelang,
Semarang, Yogyakarta, dll) mereka membentuk “komite penyambutan”. Terkadang
mereka juga menjadi penunjuk jalan dan pemandu tentara Jepang. Di banyak
tempat komite tersebut memilih nama “Komite Nasional”. Untuk mendapatkan
informasi, berbagai komite tersebut juga memiliki “seksi intelejen”-nya masing-
masing. Oleh karena orang Tionghoa dianggap dekat dengan Belanda, juga
dianggap pro-Tiongkok (yang sedang berperang dengan Jepang), maka komite-
47
komite tersebut melaporkan orang-orang Tionghoa kepada Jepang.
Di saat-saat tegang tersebut, balatentara Jepang dengan cepat dan tegas
membasmi segala bentuk gangguan “kamtibmas” tanpa pandang bulu. Mereka pun
segera membubarkan berbagai macam “Komite Nasional” (sehingga
mengecewakan sebagian kaum nasionalis) dan mereka menghilang sejak April 1942.
Sebenarnya tindakan Jepang tersebut bukan ditujukan untuk melindungi Tionghoa
per se, namun demi melancarkan jalannya roda pemerintahan, khususnya
perekonomian. Di mata orang Tionghoa, tentara Jepang—yang sebelumnya
dianggap “musuh besar” karena menginjak-injak Tiongkok—kini secara ironis
dianggap sebagai “pelindung”. Di pihak lain, sekarang mereka lebih melihat orang
Indonesia sebagai “ancaman” daripada balatentara Jepang. Seorang jurnalis
48
peranakan menulis di tahun 1947: “…Waktu Djepang baroe sadja dateng, orang
Tionghoa dapet djaoe lebi banjak soesa dari fihak Indonesia dari pada fihak
Djepang”. Disini terlihat jelas, bahwa “minoritas perantara” akan bekerjasama
49
dengan penguasa atau siapapun yang mampu menawarkan rasa aman.
100