Page 112 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 112
HUBUNGAN INDONESIA DAN JEPANG DALAM LINTASAN SEJARAH
Kaum bandit pun juga memanfaatkan situasi kekosongan law and order.
Sebenarnya Jepang sendiri tidak suka dengan perbuatan kekerasan dan provokasi
terhadap Tionghoa tersebut. Maka salah satu tugas awal Kenpeitai adalah
memulihkan keamanan dan ketertiban, antara lain menumpas gerombolan
59
perampok. Sikap Jepang terhadap aksi kriminal itu tampak dalam pernyataan
resmi yang dikeluarkan pada peringatan enam bulan pertama pendudukan
"…Tatkala Balatentara Nippon baru-baru masuk di negeri ini …maka pada
beberapa tempat terjadilah perampokan dan kejahatan oleh penduduk,
terutama ditujukan kepada penduduk bangsa Tionghoa. Pemerintah
sangat merasa kecewa atas kejadian itu. Kita mengerti juga, bahwa
diantara mereka yang berbuat demikian, ada juga yang melakukan
perbuatan tersebut, dengan maksud membantu Balatentara Dai Nippon.
Kebodohan seperti ini sekali-kali tidak boleh dianggap sebagai bantuan,
malah adalah berbahaya bagi keamanan dan ketenteraman negeri. Oleh
sebab itu balatentara telah mengambil tindakan yang keras terhadap
mereka itu semuanya… Bangsa Tionghoa hendaklah sabar dan jangan
60
menaruh dendam terhadap kejadian atas diri mereka.”
Aksi-aksi kekerasan: pembunuhan, perkosaan dan perampokan, serta
tindakan kaum nasionalis di dalam melaporkan orang-orang Tionghoa yang
bersikap "anti Nippon" telah menyulut rasa saling curiga dan mempertajam
antagonisme rasial. Aksi provokasi tersebut lahir dari perbedaan sudut pandang
dan keyakinan tentang peran Jepang diantara orang Tionghoa dan kaum nasionalis.
Di pihak lain, tindakan Jepang memulihkan keamanan Jawa secara kilat, telah
memberikan kesan yang mendalam pada orang-orang Tionghoa. Akibat yang
muncul kini, orang Tionghoa mulai berpikir, bukan Jepang yang pertama-tama
harus ditakuti, tetapi orang Indonesia. Di pihak lain, terdapat kebijaksanaan “lunak”
Jendral Imamura. Faktor-faktor tersebut membuat golongan Tionghoa tidak
61
berkeberatan untuk “bekerja sama” dengan Jepang.
Selain faktor-faktor diatas ada satu hal lain yang menjadi pendorong
terjadinya kerjasama dengan Jepang, ialah hasrat untuk tetap bisa survive
(bertahan hidup). Bagi golongan “minoritas perantara” tidak tersedia banyak pilihan
kecuali mengikuti apa yang dikatakan sang penguasa. Kenyataan bahwa golongan
Tionghoa hanyalah suatu golongan minoritas di tengah mayoritas yang relatif
menganggap Jepang sebagai pembebas, membuat mereka tidak bisa berbuat
banyak, apalagi hendak memberikan perlawanan.
103