Page 117 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 117
DINAMIKA DALAM KEBERAGAMAN:
JEPANG, ETNIK TIONGHOA DAN PRIBUMI (1942-1945)
mereka diberikan hak dan diperlakukan sebagai bangsa Indonesia, bukan
keturunan asing. Hal ini barangkali terkait dengan situasi peperangan yang berbalik
arah, maka Jepang memerlukan dukungan umat Islam sehingga perlu merangkul
keturunan Arab. Bahkan di bulan Agustus 1944 dinyatakan dengan resmi oleh
Jepang, bahwa golongan Arab di Jawa "akan diperlakukan sebagai bangsa
Indonesia". Namun anehnya, ketika dikeluarkan peraturan baru bagi calon anggota
Hokokai di awal 1945, di sana dinyatakan bahwa bagi golongan Arab diperlakukan
peraturan seperti golongan Tionghoa. Ketidakkonsitenan ini menunjukkan bahwa
71
Jepang tidak memiliki pegangan yang jelas terkait keberagaman. Bahkan lebih jauh
lagi bisa dilihat, bahwa lahirnya Hokokai ini, dalam beberapa aspek, sebetulnya
Jepang juga membangkitkan "Pergerakan Tiga A" yang sudah mati beberapa waktu
sebelumnya.
Organisasi Bagi Etnik Tionghoa
Untuk memudahkan pengawasan atas golongan Tionghoa, di masing-masing
wilayahnya, balatentara Jepang menyatukan berbagai macam organisasi Tionghoa
ke dalam satu organisasi tunggal yang dinamakan Kakyô Sôkai (Mandarin: Hua
Ch’iao Chung Hui/huaqiao zhonghui 华侨中会, selanjutnya disingkat HCCH), yang
berarti “Persatuan Tionghoa Perantauan”. Inilah pertama kalinya, dan barangkali
satu-satunya dalam sejarah, orang-orang Tionghoa bisa "bersatu" ke dalam satu
wadah tunggal. Adapun tanggal pendirian HCCH bervariasi dari satu daerah ke
daerah lainnya. HCCH Yogyakarta, misalnya didirikan pada tanggal 7 Juli 1942.
72
Untuk menghubungkan Kakyô Han -- kantor pemerintah militer Jepang yang
bertugas mengawasi etnik Tionghoa--dengan berbagai HCCH di berbagai wilayah,
maka didirikanlah HCCH Pusat di Jakarta pada Agustus 1943, dibawah pimpinan
Oey Tiang Tjoei.
73
Penggabungan atau peleburan seperti ini merupakan salah satu ciri politik
negara fasis. Dalam ilmu politik diketahui bahwa pemerintah fasis selalu
diasosiasikan dengan apa yang disebut dengan "korporatisme", yakni suatu sistem
perwakilan kepentingan, di mana berbagai kesatuan dari unsur-unsur pokok
diorganisasikan dalam sejumlah kategori tunggal yang bersifat wajib, tidak
kompetitif, diperintah secara hirarkis dan dibedakan secara fungsional, yang diakui
dan diijinkan (jika tidak diciptakan) oleh negara. Dengan kata lain, hanyalah satu
badan yang diberi hak untuk berbicara bagi suatu kategori unsur tertentu. Untuk
itu penguasa menciptakan organisasi-organisasi yang "diakui secara resmi" dan
108