Page 108 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 108

HUBUNGAN INDONESIA DAN JEPANG DALAM LINTASAN SEJARAH



            Kekerasan Pada Saat Pendaratan Jepang (Maret 1942)

            Saat-saat  ketika  “law  and  order”  absen,  adalah  periode  yang  mengerikan  bagi
            middleman  minority.  Periode  Jepang  memberikan  banyak  contoh,  bagaimana
            “jaminan  keamanan”  bisa  mengalihkan  loyalitas  middleman  minority,  bahkan
            terhadap  musuh  besarnya  sekalipun,  selama  mereka  mampu  menyediakan
            keamanan.  Pada  saat-saat  kedatangan  balatentara  Jepang  (Maret  1942),  aparat
            keamanan  kolonial  tiba-tiba menghilang  (bandingkan  dengan  Jakarta, Mei  1998),
            mereposisikan  Tionghoa  dari  middlemen  minority  menjadi  defenseless  minority
            (minoritas tanpa perlindungan).
                  Aksi  kekerasan  terhadap  Tionghoa  muncul  dalam  berbagai  manifestasi,
            antara lain: perampokan, pembunuhan. Namun ada juga kekerasan dalam bentuk
                                                                36
            lain, yakni “sunat paksa” yang terjadi di berbagai daerah: Kudus,  pantai utara Jawa
                   37
                            38
            Tengah,  Jombang,  Kediri.  Duapuluh orang Tionghoa totok asal Shantung yang
                                   39
            sedang  mengungsi  lewat  Bekasi  dilaporkan  telah  ditangkap  dan  disunat  secara
                 40
            paksa.  Frans Hüsken memberikan ilustrasi yang cukup detil mengenai sunat paksa
            di daerah Jawa Tengah bagian utara. Pada tanggal 1-2 Maret 1942 rumah dan toko
            Tionghoa  di  Juwana,  Pati  dan  Tayu  dirampok  dan  dihancurkan.  Akan  tetapi
            penghancuran tersebut bukanlah akhir dari ketegangan yang berlangsung. Rupanya
            aksi-aksi  itu  digerakkan  oleh  pesantren  di  daerah  Kajen  dan  para  santri  di  Tayu,
            Ngagel dan Dukuhseti. Bersama-sama mereka mendirikan suatu badan perjuangan
            yang  dinamai  “Gerakan  Islamiyah”  atau  “Anshor”  yang  bertujuan  lebih  jauh  dari
            sekedar  penghancuran  properti  milik  Tionghoa.  Di  hari-hari  awal  Maret  mereka
            “..menyeret  beberapa  pemilik  toko  Tionghoa  ke  Kajen,  dimana  mereka  dipaksa
            untuk masuk Islam, dan sebagai tandanya mereka disunat ditempat dengan pisau-
                        41
            pisau tumpul”.  Di luar Jawa aksi sunat berlangsung dalam skala yang lebih hebat,
            namun dengan alasan yang berbeda. Dimotivasikan oleh rasa takut, lelaki dewasa
            Tionghoa  di  daerah  Kandangan  (Kalimantan  Selatan)  melakukan  “gerakan  sunat
                                                         42
            sukarela” dengan alasan supaya tidak diganggu Jepang.
                  Pada saat yang sama dilaporkan pula terjadinya perkosaan wanita Tionghoa,
            misalnya  di  Bekasi  (50  orang)  dan  di  pantai  utara  Jawa  Tengah.  Selain  itu  juga
                                                                  43
            terdapat  penyanderaan  yang  dilakukan  oleh  gerombolan  perampok.  Di  Bekasi
            sekitar  1,000  orang  Tionghoa  dikurung  didalam  klenteng  oleh  lebih  dari  10,000
            orang Indonesia. Di awal Mei diberitakan bahwa Kenpeitai (polisi rahasia Jepang)
            melakukan  operasi  penyelamatan  atas  Tionghoa  Tangerang  yang  disandera  para
                                               44
            perampok  dan  sekaligus  menumpasnya.  Hal  ini  berarti  para  perampok  masih
            bergentayangan dalam dua bulan pertama pendudukan.


                                                99
   103   104   105   106   107   108   109   110   111   112   113