Page 31 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 31

INDONESIA—JEPANG, 1900—1941 :
                       HUBUNGAN ANTARBANGSA DALAM PERSPEKTIF HISTORIS

            kerang Mutiara di Alor, sekarang termasuk di wilayah Nusa Tenggara Timur. Jumlah
            laki-laki  Jepang  berada  di  pulau  ini  sejumlah  94  orang,  yang  tercatat  pada  1909
            dalam  komposisi  sebanyak  155  orang,  sedangkan  perempuan  Jepang  61  orang.
            Perubahan radikal terjadi pada 1912. Dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah
            Hindia Belanda untuk melarang prostitusi, akibatnya jumlah perempuan Jepang di
            Hindia Belada menurun. Menjelang 1914 jumlah laki-laki Jepang melebihi jumlah
                      19
            perempuan.
                    Gejala yang menarik dari perkembangan aktivitas orang Jepang di Hindia
            Belanda adalah pergeseran dari nelayan ke pedagang keliling. Mereka adalah yang
            berjualan  barang  jenis  obat-obatan  didorong  Perang  Jepang—Rusia  (1904-1905).
            Murayama  mencatat  periode  pertama  komunitas  Jepang  dari  1912—1935,  ciri
            pertama,  di  bidang  pertanian  sangat  kecil.  Dalam  periode  kedua,  1936-1937
            tampak  bahwa  bidang  perkebunan  Jepang  di  Hindia  Belanda  meliputi  1870.700
            hektar,  merupakan  66,8%  dari  jumlah  keseluruhan  perkebunan  Jepang  di  Asia
            Tenggara, jumlah itu telah melampaui angka dibandingkan dengan Malaya (149).
            Dalam  gelombang  pertama  perdagangan  ini  terdiri  atas  pedagang  keliling  dan
            pemilik toko. Pada 1914 terdapat 74 pemilik toko dan 144 pekerja toko di Jawa.
            Terjadi pergeseran barang dagangan dari obat-obatan ke barang keperluan sehari-
            hari (kelontong), aktivitas para pedagang pun menyebar ke berbagai daerah dan
            kota kecil, selain Surabaya dan Semarang yang waktu paling ramai. Dampak Perang
            Dunia  Pertama,  ialah  menjadi  terganggunya  impor  barang  dari  Eropa,  sehingga
            merugikan pemerintah Hindia Belanda. Hal ini  menjadi faktor pendorong semakin
            banyaknya kegiatan perdagangan Jepang di Hindia Belanda.  Di Kediri, sebuah kota
            kecil di pedalaman Jawa Timur, misalnya, seperti yang tertulis dalam suatu laporan
            “Kami  (pedagang  Jepang:SZ)  terutama  terlibat  di  dalam  kebutuhan  sehari-hari
            kepada  penduduk  asli,  sehingga  kita  tidak  di  dalam  terpengaruh  oleh  depresi
            seperti pedagang-pedagang di kota. Dengan kerajinan, tidak sulit untuk mendapat
                           20
            untung yang layak .
                    Suatu  gambaran  yang  terjadi  di  kota  kecil  lainnya  di  Jawa,  suatu  kajian
            tentang  Cilacap,  dapat  dikemukakan  di  sini.  Pada  1929  impor  Jepang  ke  Hindia
            Belanda bertambah 42%  jika disbanding dengan tahun sebelumnya. Sesungguhnya
            ekspor-impor perdagangan Hindia Belanda  dan Jepang mulai terlihat tak seimbang
            pada 1927. Ekspor Hindia Belanda ke Jepang semakin merosot. Pada 1937 ekspor
            gula dari Jawa misalnya mengalami penurunan tajam. Sementara itu Jepang mulai
            mengembangkan  produksi gula di pabrik-pabrik yang didirikan di di Taiwan. Dalam
            periode  terakhir  masa  kolonial  Belanda,  kapal  Jepang  tidak  hanya  ke  pelabuhan
            besar, tetapi juga ke Cilacap, suatu pelabuhan di selatan Jawa. Selain kapal-kapal



                                             22
   26   27   28   29   30   31   32   33   34   35   36