Page 118 - Buku Kajian Pemantauan UU ITE
P. 118
Kejelasan rumusan terkait klasifikasi pemutusan akses terhadap informasi
dan/atau dokumen elektronik akan memperjelas peran Pemerintah dalam menjalankan
kewenangannya dalam hal pemutusan akses informasi yang melanggar hukum serta
akan menciptakan pemahaman dan kepastian hukum kepada masyarakat dalam
implementasinya.
B. ASPEK STRUKTUR HUKUM/KELEMBAGAAN
Hasil kajian dan evaluasi UU ITE berdasarkan pelaksanaannya, ditinjau dari struktur
hukum/kelembagaan, maka ditemukan potensi permasalahan terkait penguatan
koordinasi antar Pemerintah dalam pengawasan ITE sebagai berikut:
Pasal 40 ayat (2) UU ITE mengatur mengenai kewenangan Pemerintah dalam
melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan
ITE yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
Undangan yang berlaku.
Sejauh ini terkait pelaksanaannya, pengawasan ITE dilakukan oleh Pemerintah yaitu
Kominfo yang dibantu oleh Bareskrim Polri yang dilaksanakan melalui pembentukan satuan
kerja tersendiri. Di Bareskrim Polri pengawasan ITE atau pengawasan siber dilaksanakan
oleh petugas Bareskrim Polri yang khusus melakukan penegakan hukum terhadap
kejahatan siber. Secara umum, Bareskrim Polri menangani dua kelompok kejahatan, yaitu
computer crime dan computer-related crime.
Untuk menjalankan tugasnya dalam pengawasan ITE maka pada tanggal 19 Februari
2021, Kapolri menerbitkan SE Kapolri No. SE/2/11/2021. SE tersebut dikeluarkan
menanggapi permintaan Presiden supaya Polri lebih selektif dalam menangani kasus
dugaan pelanggaran UU ITE. Ketentuan dalam SE No.SE/2/11/2021, Kapolri
memerintahkan jajaran dibawahnya untuk, sebagai berikut:
1. Mengikuti perkembangan pemanfaatan ruang digital yang terus mengalami
perkembangan.
2. Memahami budaya beretika yang terjadi di ruang digital dengan menginventarisasi
berbagai permasalahan dan dampak yang terjadi di masyarakat.
3. Mengedepankan upaya preemptive dan preventif melalui virtual police dan virtual alert
yang bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan, serta
mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber.
4. Dalam menerima laporan dari masyarakat, penyidik harus dapat membedakan dengan
tegas antara kritik, masukan, hoaks dan pencemaran nama baik yang dapat dipidana.
5. Sejak penerimaan laporan, penyidik harus berkomunikasi dengan para pihak,
khususnya pihak korban (tidak diwakilkan) dan memfasilitasi dengan memberi ruang
seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melakukan mediasi.
6. Penyidik melakukan kajian dan gelar perkara secara komprehensif terhadap perkara
yang ditangani dengan melibatkan unsur Badan Reserse Kriminal
(Bareskrim)/Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) dapat melalui zoom meeting
dan mengambil keputusan secara kolektif kolegial berdasarkan fakta dan data yang
ada.
7. Penyidik berprinsip hukum pidana menjadi upaya terakhir dalam penegakan hukum
(ultimum remedium) dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian
perkara.
Kajian dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagaimana Telah Diubah Dengan …
96 Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian, Sekretariat
Jenderal DPR RI