Page 82 - Buku Kajian Pemantauan UU ITE
P. 82
tidak tegas mendudukan informasi dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti
tambahan atau perluasan alat bukti. Pasal 44 UU ITE menyatakan 2 (dua) jenis alat
bukti yang diakui dalam proses peradilan pidana hukum acara UU ITE yaitu alat bukti
dalam KUHAP dan alat bukti lain sesuai dengan UU ITE. Hal ini menyebabkan
pelaksanaan Pasal 5 jo. Pasal 44 UU ITE menjadi multitafsir diantara APH.
Dalam ketentuan lain, Pasal 26A UU Tipikor yang pada pokoknya mengatur
bahwa informasi dan/atau dokumen elektronik dapat merupakan perluasan dari alat
bukti petunjuk, dalam hal ini UU Tipikor mengatur bahwasanya informasi dan/atau
dokumen elektronik hanya terbatas pada perluasan cakupan alat bukti berupa
petunjuk sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, bahwa perluasan tersebut
diperuntukkan untuk memperluas pengertian alat bukti petunjuk terkhusus dalam
tindak pidana korupsi.
Menurut Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Akademisi FH UI)
bahwa alat bukti petunjuk memperlihatkan adanya kesesuaian konten dengan
konten pada alat bukti lainnya. Jika sebuah dokumen atau informasi membuat terang
suatu tindak pidana dan pelaku tindak pidana, dokumen atau informasi tersebut
telah menjadi alat bukti sendiri yang mandiri namun perlu dipastikan terlebih dahulu
bahwa sistem elektronik yang digunakan beroperasi sebagaimana mestinya. Atas hal
tersebut hakim tidak dapat menampik suatu bukti hanya karena bentuknya
elektronik. Selain daripada itu ketentuan perluasan mengenai alat bukti juga
memiliki keterkaitan dengan alat bukti elektronik yang terdapat didalam Pasal 73 UU
Pencucian Uang dan Pasal 29 UU TPPO, dimana kedua UU tersebut pada pokoknya
mengklasifikasikan bahwa informasi dan/atau dokumen elektronik merupakan alat
bukti lain, oleh karenanya maka ketentuan dalam kedua UU tersebut dapat
diinterpretasikan bahwa informasi dan/atau dokumen elektronik merupakan alat
bukti lain yang tidak termasuk kedalam klasifikasi alat bukti sebagaimana diatur
didalam Pasal 184 KUHAP. Berdasarkan hal tersebut maka terdapat potensi
perbedaan penafsiran terkait dengan alat bukti elektronik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU ITE.
Menurut Akademisi FH UI, dalam implementasinya terdapat pemahaman yang
berbeda dalam menafsirkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU ITE, dimana informasi
dan/atau dokumen elektronik dapat diartikan sebagai perluasan dari alat bukti
petunjuk tetapi juga dapat diartikan sebagai alat bukti lain yang berdiri sendiri. Bahwa
hanya ketentuan Pasal 26A UU Tipikor yang mengatur informasi dan/atau dokumen
elektronik merupakan perluasan dari alat bukti petunjuk. Sedangkan pengaturan di
undang-undang lain, seperti Pasal 73 UU Pencucian Uang dan Pasal 29 UU TPPO
menyatakan bahwa informasi atau dokumen elektronik dapat menjadi alat bukti yang
lain.
Berdasarkan permasalahan diatas maka dapat dikatakan bahwa rumusan
norma yang terdapat dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 44 huruf
b UU ITE tidak memiliki kejelasan rumusan sehingga menimbulkan multitafsir, hal ini
dikarenakan ketentuan pasal-pasal tersebut telah menimbulkan pemahaman dan
penafsiran yang beragam terkait dengan informasi dan/atau dokumen elektronik
sebagai alat bukti yang sah. Hal ini dikarenakan UU ITE tidak menjelaskan dengan
tegas maksud dari informasi dan/atau dokumen elektronik sebagai perluasan dari
suatu alat bukti, bahwa perluasan sebagaimana dimaksud dapat diartikan sebagai
Kajian dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagaimana Telah Diubah Dengan …
60 Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian, Sekretariat
Jenderal DPR RI