Page 83 - Buku Kajian Pemantauan UU ITE
P. 83
perluasan jenis alat bukti yang berarti bahwa informasi dan/atau dokumen elektronik
merupakan penambahan jenis alat bukti sebagaimana diatur didalam Pasal 184 ayat
(1) KUHAP, tetapi disisi lain dapat juga diartikan sebagai perluasan terhadap salah
satu jenis alat bukti yang berarti perluasan dimaksud adalah mencakup salah satu
jenis alat bukti yang diatur didalam Pasal 184 KUHAP.
b. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016
MK telah memutuskan putusan perkara pengujian UU ITE dan UU Tipikor
melalui Putusan Nomor 20/PUU-XIV/2016 yang mengabulkan permohonan pemohon
untuk sebagian, yang mana seluruh Pasal 5 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 44 huruf b UU
ITE serta Pasal 26A UU Tipikor bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang
tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik”
sebagai alat bukti dalam rangka penegakan hukum atas permintaan Kepolisian,
Kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan
undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE. Pasca
Putusan MK tersebut maka dibutuhkan pengaturan kembali tentang kedudukan alat
bukti elektronik dan prosedur perolehannya dalam sistem peradilan di Indonesia.
Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki sifat final yang artinya bahwa Putusan
Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan
dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh, dan sifat final Putusan Mahkamah
4
Konstitusi ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).
Bahwa dalam Putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016 hanya menguji frasa
“informasi dan/atau dokumen elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE
terkait penyadapan atau intersepsi yang telah diatur dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE.
Dalam pertimbangannya, MK menilai bahwa sampai saat ini belum ada undang-
undang khusus yang mengatur penyadapan dan Pasal 31 ayat (3) telah jelas mengatur
hukum acara penyadapan. Namun untuk mencegah terjadinya perbedaan penafsiran
terhadap Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE, MK menegaskan bahwa setiap
intersepsi harus dilakukan secara sah, terlebih dalam rangka penegakan hukum.
Sehingga dalam amar putusannya, MK menilai Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE
adalah konstitusional bersyarat sepanjang dilakukan sesuai prosedur Pasal 31 ayat
(3) UU ITE.
Namun secara yuridis, Putusan MK tersebut berimplikasi pada keterbatasan
penggunaan informasi dan/atau dokumen elektronik dalam penegakan hukum, hal
ini dikarenakan Putusan MK tersebut telah menyamakan kedudukan alat bukti dalam
Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE harus sesuai dengan prosedur dalam Pasal 31 ayat
(3) UU ITE. Oleh karena itu kedudukan informasi dan/atau dokumen elektronik
sebagai alat bukti tidak dapat digunakan dalam penegakan hukum apabila tidak
memenuhi persyaratan yang diputuskan oleh MK. Implikasi hukum akibat Putusan
MK dijelaskan sebagaimana didalam Tabel 31 berikut:
4 Indonesia, Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
UU No. 8 Tahun 2011, LN Tahun 2011 Nomor 70, TLN Nomor 5226, Penjelasan Pasal 10 ayat (1).
Kajian dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagaimana Telah Diubah Dengan …
Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI 61