Page 23 - MAJALAH 118
P. 23
Dengan elaborasi di atas dapat disimpulkan bahwa
pola hubungan antara eksekutif dan legislatif (Presiden
dan DPR) pada periode 2014-2019 ini tidak akan banyak
berubah dari pola yang terjadi pada periode sebelumnya.
Yang harus dipahami adalah sistem pemerintahan
presidensial sebagaimana dianut oleh Indonesia
tidak memperhadapkan antar 2 (dua) kekuatan yang
sekarang ini hadir di DPR RI periode 2014-2019. Sebagai
sebuah lembaga perwakilan yang memiliki tiga fungsi
utama yaitu legislasi, anggaran, dan pengawasan, DPR
RI menjadi penyeimbang bagi Pemerintah sekaligus
mitra dalam menjalankan pemerintahan. Sebagaimana
ajaran trias politica yang dianut Indonesia yang lebih
menganut ajaran distribution of power dibanding ajaran
separation of power, maka kerjasama antara eksekutif
dan legislatif menjadi sebuah kebutuhan dalam
mengelola pemerintahan ke depan yang memihak
kepada kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Dinamika politik sebagai bagian dari dinamika demokrasi
yang sedang tumbuh di Indonesia hendaknya dimaknai
sebagai sebuah proses yang masih berlangsung dalam
rangka konsolidasi demokrasi setelah kita mengarungi
masa transisi demokrasi sejak tahun 1998.
Kolaborasi antara eksekutif dan legislatif secara
umum dan antar fraksi di DPR RI periode 2014-2019
harus berlangsung secara konstruktif melalui sebuah
pola hubungan saling menghargai sesuai tugas fungsi
masing-masing. Legislatif memberikan berbagai
masukan dan kritik atas berbagai kekurangan yang
dimiliki Pemerintah (eksekutif) dan selanjutnya
masukan-masukan itu benar-benar diperhatikan
dan ditindaklanjuti oleh Pemerintah (eksekutif)
dengan tujuan memperhatikan kepentingan rakyat.
Sebaliknya, legislatif (DPR) tetap menghargai
Kekurangan lain sistem presidensial kurang mo keberadaan Pemerintah sebagai eksekutor dengan
bile dibandingkan dari sistem parlementer. Kebijakan sejumlah program dan kegiatannya sepanjang sesuai
presiden bisa di block legislatif dan presiden tidak bisa koridor untuk kepentingan rakyat secara keseluruhan.
memaksakan kepentingannya terhadap legislatif. Kasus Meskipun Indonesia masih menggunakan sistem
Indonesia, kebijakan-kebijakan presiden sering ditolak multipartai ekstrem seperti tergambar dalam jumlah
oleh legislatif karena adanya partai oposisi. Kasus fraksi di DPR (10 fraksi), namun tidak menghalangi
penolakan kebijakan Presiden SBY untuk mengurangi terbangunnya pola hubungan secara konstruktif
subsidi BBM. Terjadi demonstrasi besar-besaran antara eksekutif dan legislatif. Sehingga akan tercapai
dan penolakan dari seluruh partai oposisi, bahkan tujuan menyejahterakan rakyat berdasarkan kerjasama
partai koalisi pun ada yang ikut menolak saat terjadi Presiden dan DPR. Perlu dipertimbangkan oleh Presiden
pembahasan kebijakan tersebut dalam rapat paripurna Joko Widodo untuk mengangkat 1 (satu) pejabat
DPR. setingkat menteri yang secara khusus menjalankan
tugas membangun hubungan dengan DPR RI dan/atau
Kekurangan yang terakhir adalah lemahnya ikatan lembaga negara lainnya. Sehingga dapat terbangun
presiden dengan partai politik karena orang yang relasi lebih baik sekaligus membangun tradisi
memiliki sedikit pengalaman dan masih diragukan komunikasi politik di Indonesia.
kredibilitasnya dapat dengan mudah terpilih. Selain itu,
sistem partai politik yang relatif lemah dan diperparah * Peneliti Bidang Politik dan Pemerintahan Indonesia pada Pusat
dengan elite politik yang tidak mampu mengontrol Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi, dapat dihubungi pada
proses seleksi calon presiden juga ikut mempengaruhi alamat email indra.pahlevi@dpr.go.id
lemahnya ikatan antara individu dengan partai
politiknya. Hal semacam ini pernah terjadi di negara foto: iwan armanias, andri/parle/iw
Brazil pada tahun 1989 dan terjadi di negara Peru pada
tahun 1990.
PARLEMENTARIA EDISI 118 TH. XLIV, 2014 23

