Page 140 - Landgrabbing, Bibliografi Beranotasi
P. 140

Land Grabbing: Bibliografi Beranotasi  115


              konigurasi pengaturan  land grab yang rumit atau regime complex.
              Tulisan ini berusaha melihat paham rezim yang kompleks ini pada
              institusi-institusi pemerintahan  yang berkaitan  dengan  persoalan
              land grab. Melalui analisis  respon  mainstream  kelembagaan  ini,
              penulis beranggapan bahwa ada ketidakseriusan dalam pendekatan
              yang dipakai dalam pengaturan land grab.
                  Ada  berbagai macam  kekuatan  global yang bermain  dalam
              perburuan  tanah  pertanian  di negara  berkembang. Neoliberalisme
              mendasari proses-proses  ini, yang kemudian  diadopsi Stephens
              dari istilah McMichael sebagai ‘commodity fetishism’, komodiikasi
              pangan  dan  energi yang bekerja  dalam  kerangka  tanah  pertanian
              sebagai target  investasi asing. Hal ini menjadi sinyal perlunya
              mengendalikan  ‘friksi-friksi’ yang muncul akibat  globalisasi. Ada
              dua intepretasi yang kemudian muncul. Agen non pemerintah (non
              state actor) melihat land grab sebagai sebuah proses yang memiliki
              efek  merusak  pada  kelangsungan  hidup  komunitas, ekosistem
              dan  iklim. Sementara  itu  agen-agen  pembangunan  (IFPRI, World
              Bank, FAO, IFAD, dan    UNCTAD) bersikap    pro  terhadap  land
              grab. Agen-agen  pembangunan   ini menyadari bahwa  land grab
              memiliki konsekuensi buruk  seperti pengusiran  komunitas  lokal,
              berkurangnya ketahanan pangan, kerusakan lingkungan, hilangnya
              sumber  penghidupan, polarisasi sosial dan  instabilitas  politik.
              Terlebih  lagi  telah  teridentiikasi  bahwa  perjanjian  seringkali
              dilakukan dengan menargetkan negara-negara yang hak penguasaan
              tanahnya  lemah  sehingga  sangat  merugikan. Meskipun  demikian,
              mereka  selalu  menekankan  bahwa  dengan  mengaturnya  secara
              benar, akuisisi tanah berskala besar bisa menemukan jalan tengah.
              Dari sinilah  kemudian  muncul perdebatan  bagaimana  kemudian
              land grab yang awalnya dilihat sebagai resiko (risk) kemudian dilihat
              sebagai kesempatan (opportunity). Justiikasi inilah yang kemudian
              melegitimasi global land grab.

                  Karakteristik global governance  adalah  munculnya  aktor  bukan
              negara (non-state actors) dalam pengaturan isu ini. Institusi neoliberal
              bergeser  dari state-centric  ke global social  landscape. Masyarakat
              sipil, pasar, dan negara berbondong-bondong membuat agenda CSR.
   135   136   137   138   139   140   141   142   143   144   145