Page 339 - Landgrabbing, Bibliografi Beranotasi
P. 339

314   Dwi Wulan Pujiriyani, dkk


            kasultanan. Keterkaitan  aspek-aspek  kekuasaan  kasultanan, yang
            terkadang berperan  sebagai gubernur, raja  Yogyakarta, dan  juga
            pebisnis, membuat   proyek  pengambilalihan  tanah  bebas  dari
            berbagai hambatan  formal. Sebagai gubernur, Sultan  berargumen
            bahwa  pembangunan   kawasan  Jawa  bagian  selatan  dan  proyek
            penambangan   merupakan   bagian  dari upaya  untuk  mencapai
            pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran. Sebagai raja Yogyakarta,
            sultan mengklaim bahwa semua tanah diduduki oleh petani karena
            merupakan  tanah  sultan  dan  dinyatakan  bahwa  pembangunan
            proyek  penambangan  adalah  warisan  dari nenek  moyang. Sebagai
            pebisnis, Sultan  menaturalisasi pengambilalihan  tanah  dengan
            argumen bahwa mereka akan mengimplementasikan proyek bisnis
            dalam  cara  yang sama  dan  jika  semua  persyaratan  bisnis  seperti
            analisis  dampak  lingkungan  izin  konstruksi telah  dipenuhi, maka
            proyek akan terus berjalan.
                Sejak  tahun  1985, para  petani di lahan  pantai Kulonprogo
            sudah  menduduki tanah-tanah  marjinal di sepanjang pantai yang
            secara ekologis dikategorikan sebagai tanah marjinal (berpasir dan
            tidak  subur). Melalui berbagai percobaan, beberapa  petani pioner
            akhirnya  berhasil menciptakan  cara  untuk  mengubah  lahan  pasir
            yang marjinal dan  tidak  produktif  menjadi lahan  produktif  untuk
            ditanami berbagai tanaman pangan: seperti cabai, melon, dan juga
            padi. Para petani mengkonsolidasi lahan pantai, menggunakannya
            bersama-sama, menciptakan  teknologi irigasi ala  mereka  sendiri
            dan teknik pertanian dengan meminimalisir input eksternal untuk
            pertanian  yang berkelanjutan, menciptakan  sistem  lelang lokal
            sebagai mekanisme perdagangan pasar yang adil.
                Meskipun demikian, sejak tahun 2007, pemerintah Yogyakarta
            mulai merancang sebuah   proyek  investasi raksasa  penambangan
            pasir besi. Salah satu argumen yang dimunculkan adalah keyakinan
            bahwa  pasir  besi di Kulonprogo  memiliki potensi yang lebih
            bagus  dibandingkan  pasir  besi di Amerika  Latin, sehingga  apabila
            penambangan   benar-benar  direalisasikan, bisa  mendatangkan
            banyak  keuntungan. Selain  itu  realisasi penambangan  juga  dapat
            mengurangi ketergantungan   Indonesia  pada  impor  bijih  besi
   334   335   336   337   338   339   340   341   342   343   344