Page 153 - Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia
P. 153
Mochammad Tauchid
di daerah Melayu, pawatasan di Kotawaringin, panjampeto,
panjanturui, di Buntok (Kalimantan), panetepan di Bukit
dayak (Kalimantan), totabuan di Bolaang Mongondow, baha-
gian di Ambon, nuru, nama, noron di Buru, pajar (paer) di
Lombok, pajar, padesaan, prabumi, bumi palasan, weweng-
kon desa di Bali, wewengkon di Jawa.
Di tempat-tempat itu ada tanah-tanah yang menjadi keku-
asaan wilayah (daerah) yang dinamakan tanah ulayat di
Minangkabau, tanah pertuanan di Ambon, panjampeto, para-
bumian dsb.
Regeerings Reglement 1854 pasal 64 alinea 3 menye-
butkan pengakuan hak ini: “Tanah-tanah yang dibuka oleh
rakyat untuk pengonan umum atau keperluan lain, termasuk
dalam desa”, sebagai pengakuan akan adanya hak desa atas
tanah dalam lingkungannya. Tetapi dengan Stbl. 1896 no. 44
dan Stbl 1925 no. 649, maka beschikkingsrechtnja desa jadi
berkurang. Karena kekuasaan untuk mengatur tanah yang ada
dalam lingkungan daerah desanya (tanah yang belum dibuka)
sudah tidak ada lagi, dan tidak dapat menentukan lagi. Hak
wilayah ini berupa kekuasaan mengatur tanah dalam ling-
kungan desa serta menjaga tanah dalam desa itu untuk kese-
lamatan dan kepentingan penduduknya.
Hubungan dan hak desa (daerah) atas tanah dalam ling-
kungannya bersifat:
1. hubungan kebatinan dan keagamaan (magis religeus),
2. hubungan yang bersifat ekonomis, dan
3. hubungan kemasyarakatan.
Adanya hubungan kebatinan dan keagamaan yang ber-
dasarkan anggapan dan kepercayaan bahwa tanah sebagai
sumber hidup manusia harus dimuliakan dan dihormati ber-
132