Page 159 - Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia
P. 159
Mochammad Tauchid
selanjutnya. Mereka juga tidak secara otomatis sesudah mem-
bayar recognitie itu lalu mendapat hak-hak kewargaan desa
itu (memilih kepala desa dsb.). Di beberapa daerah ditentukan
waktu lamanya menjadi calon warga masyarakat daerah itu,
sebab dasarnya untuk turut mendapatkan hak harus menun-
jukkan jasa-jasanya lebih dulu. Hak dasar dan hak turut menga-
tur desa sebagai warga, tidak bisa didapat hanya dengan mem-
bayar begitu saja.
Hak wilayah ini terdapat di seluruh Indonesia, dengan
tanda-tanda dan kebiasaan yang hampir sama. Ada kalanya
di beberapa tempat seperti di Jawa Barat (tetapi di daerah
yang berbatasan dengan Jawa Tengah masih terdapat juga)
hak wilayah itu sudah tidak nampak dipergunakan atau sudah
tidak nampak lagi. Peraturan-peraturan yang mengharuskan
(peraturan merupakan Undang-Undang yang tidak tertulis,
ongeschreven wetten) orang dari luar daerah harus membayar
recognitie untuk mendapatkan tanah di suatu daerah, terdapat
hampir di seluruh daerah di Indonesia, dengan nama-nama
yang bermacam-macam. Di Aceh, uang pemasukan, di Jawa:
mesi atau pamesi, bekten, bekti, sih, kasahenan, oleh-oleh,
nyukani kabingahan dsb. Orang yang datang dari daerah Bage-
lan kekuasaan Sidarejo (Cilacap) untuk mendapatkan tanah
(yang masih terdapat tanah semak belukar yang luas) diharus-
kan memberi “panumbas sata” (uang pembeli tembakau)
kepada Lurah desa tempat membuka tanah itu.
Di Buru orang harus membayar recognitie yang dinama-
kan noifilin atau kaufilin untuk mengambil hasil hutan, dan
harus membayar rahe kutun, atau nétén kutun untuk mem-
buka hutan.
Hal semacam itu di Jawa Barat sudah tidak berlaku, tetapi
138